Senin, 21 Juli 2008

Media Menjelang Pemilu 2009

Media pada dasarnya memiliki empat fungsi. Fungsi pertama adalah Fungsi Informasi, Informasi tersebut dapat berupa peristiwa yang terjadi, gagasan, atau pikiran orang. Fungsi kedua adalah Fungsi Edukasi (Pendidikan). Lewat penyiarannya, media mencoba memberi pencerahan, mencerdaskan, dan meluaskan wawasan khalayak pembaca, pendengar, atau pemirsanya. Dalam konteks politik, pers memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, menyadarkan mereka akan hak dan kewajibannya sebagai warga
Fungsi ketiga adalah Fungsi Entertaint (Hiburan). Hal-hal yang bersifat menghibur dapat mudah dijumpai pada media massa sekarang. Seperti tayangan program-program sinetron, reality show, kuis,, hingga ranah informasi pun dicoba untuk diaplikasikan dengan fungsi entertainment yang berupa infotaiment dengan konten gossip pada selebritis Indonesia. Dapat diketahui kasusnya saat ini, journalist pada Infotaiment masih jadi perdebatan, apakah mereka "The Real Journalist". Fungsi keempat adalah Fungsi Kontrol Sosial (Social Control). Kontrol yang dilakukan tidak hanya penguasa, pemerintah, parlemen, institusi pengadilan, militer, tetapi juga berbagai hal di dalam masyarakat itu sendiri.
Dalam pembahasan mengenai Media Menjelang Pemilu 2009, khususnya media televisi, tidak akan terlepas dari dunia perpolitikan ataupun media kampanye. Peran penting media dalam suatu pemilihan umum seperti dikemukakan oleh Oskamp & Schultz (1998), yakni memusatkan perhatian pada kampanye, menyediakan informasi akan kandidat dan isu seputar pemilu. Pertanyaan besar yang sering dilemparkan ialah, bagaimana media mempengaruhi wawasan politik, sikap dan perilaku masyarakat?
Sebagaimana terdapat dalam UU Penyiaran No 32/2002 Pasal 6 ayat 4 berbunyi: "isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu." Makna substantif dari pasal ini tidak lain bingkai yang akan mengantisipasi agar kecenderungan pilihan indivual jurnalis yang menjadi hak asasi pribadinya agar tidak sampai tertuang ke luar dalam bentuk laporan peliputan (pemilu) yang telah dicampuradukkan dengan opini dan kecenderungan pribadinya. Karena jika hal tersebut terjadi, peliputan tersebut dapat berpengaruh pada publik. Sekedar mengingatkan pada teori komunikasi massa, yaitu Diffusion of Innovation Theory dan hypodermic needle theory, yang keduanya berdampak pada pola pikir khalayak.
Sejalan dengan netralitas dalam meliput peristiwa telah disediakan bingkai dalam UU Pemilu No 12/2003 Pasal 73 ayat 1 yakni media memberikan kesempatan yang sama kepada peserta pemilu untuk menyampaikan tema dan materi kampanye. Substansinya adalah peliputan yang seimbang dan adil bagi peserta pemilu. Dan hal ini merupakan tantangan berat bagi media karena akan berhadapan dengan kecenderungan pribadi wartawan sekaligus kepentingan bisnis. Maka diatur pula dalam Pasal 73 ayat 2 yakni media wajib memberikan kesempatan yang sama kepada peserta pemilu untuk memasang iklan pemilu dalam rangka kampanye.

Tercatat empat pengaruh media dalam politik bagi masyarakat, diantaranya:
1. Penambahan informasi
Hampir sebagian besar orang dewasa menyatakan bahwa mereka mendapatkan hampir seluruh informasi tentang berbagai peristiwa dunia maupun nasional dari media massa. Secara umum, studi telah menunjukkan bahwa masyarakat yang banyak mengkonsumsi media biasanya memiliki pengetahuan yang lebih baik dan aktual daripada yang tidak atau kurang memanfaatkan media.
2.Efek Kognitif
Media memiliki kemampuan untuk ‘mengatur’ masyarakat, not what to think, but what to think about. Penjelasan pada kalimat yang ‘indah’ ini ialah media cenderung mengarahkan masyarakat memikirkan hal-hal yang tersaji dalam menunya, bukan apa yang sebenarnya terjadi di sekitar masyarakat itu sendiri.
3. Perilaku memilih
Secara luas, media lebih cenderung menguatkan tujuan-tujuan yang ada dalam pemungutan suara daripada merubahnya. Seperti telah disinggung diawal bahwa peran utama media dalam suatu pemilihan umum ialah menfokuskan perhatian masyarakat pada kampanye yang sedang berlangsung serta berbagai informasi seputar kandidat dan isu politik lainnya. Walaupun mungkin tidak memberi dampak langsung untuk merubah perolehan jumlah suara, namun media tetap mampu mempengaruhi banyaknya suara yang terjaring dalam suatu pemilu.

4. Sistem Politik
Selama ini, media telah merubah wajah seluruh sistem politik secara luas dengan pesat. Media tidak hanya mempengaruhi politik dengan fokus tayangan, kristalisasi atau menggoyang opini publik, namun secara luas berdampak pada para politisi yang memiliki otoritas dalam memutuskan kebijakan publik.
Media, dengan publisitas, pemasangan iklan dan ulasan beritanya, juga memiliki kemampuan yang kuat untuk secara langsung mempengaruhi meningkatnya jumlah dana dalam suatu kampanye politik. Begitu penting dan besarnya peran berita atau ulasan-ulasan media dalam suatu pemilihan umum, maka baik staf maupun kandidat politik sebenarnya telah menjadi media itu sendiri.
Dengan begitu, Bukan sebuah hal tabu dibicarakan lagi, bahwa peran media yang menonjol di masa-masa pesta demokrasi di Indonesia berubah fungsi menjadi fungsi informasi, mendidik, dan mempengaruhi. Kekuatan pemilik modal, dalam menentukan arah kebijaksanaan redaksional suatu media massa, lewat kepemilikan saham mayoritas pada sejumlah media massa, parpol atau kandidat tertentu juga dapat menjadikan media tersebut sebagai alat kampanyenya.

Hal tersebut memang membingungkan, di satu mungkin ada yang menganggap "Licik", namun di sisi lain mengatakan "Kesempatan, mengapa tidak digunakan?". Tapi pada kenyataan memang itulah yang selama ini pernah terjadi pada media di Indonesia. Lewat pengalaman-pengalaman pesta demokrasi Indonesia yang pernah ada, dapat diketahui sendiri, beberapa media jika diruntut akan berpangkal kepada tidak lain adalah aktor perpolitikan Indonesia. Tebak saja sendiri, dalam tulisan ini tidak berniat menyebutkan "Merk".
Jika keadaan seperti ini terus menerus berlanjut, dapat dimungkinkan media akan menjadi sebuah batu pijakan bagi para bakal calon ke depan. Bisa jadi suatu saat ada sebuah syarat untuk mendaftar sebagai bakal calon, wajib memiliki media. Karena media lah yang efektif sampai pada masyarakat, entah bagaimana atau apapun kondisinya. bSesuaikah dengan fungsi murni media pada masyarakat jika sudah begini?

Berarti semakin menguatkan bahwa ada sebuah analogi atau pernyataan, bahwa: "Orang yang menguasai media, adalah orang yang dapat menguasai segalanya". Ingin jadi penguasa? Silakan menguasai media terlebih dahulu…

Pemilu 2009?

Parpol, sebuah ruang publik
Pada prisipnya parpol lahir sebagai wujud partisipasi publik dalam dunia politik. Berpegang pada prinsip tersebut, parpol mempunyai fungsi sebagai ruang publik. Dalam ruang publik itu semua orang mempunyai peluang yang sama untuk berpendapat. Di sana tidak ada usaha untuk saling mendominasi dan memaksakan kehendak. Kebebasan berpendapat justru dijunjung tinggi sebagai hal yang mencirikan publisitas parpol. Sebab dari kebebasan berpendapat itulah akan lahir komunikasi yang menandai hidupnya parpol sebagai sebuah ruang publik.
Dari komunikasi politis itu akan memiliki makna masing-masing yang intinya memperjuangkan kesejahteraan publik, itulah parpol yang menghargai independensi setiap orang. Parpol yang membangun komunikasi yang baik dengan masyarakat dan pemerintah tentu akan berperan sebagai media yang sanggup menghubungkan rakyat dan pemerintah.
Melihat dalam kehidupan perpolitikan di Indonesia kini, setiap masyarakat cenderung dapat menyampaikan aspirasinya lebih bebas, ketimbang pada masa sebelum terjadinya reformasi. Sehingga kecenderungan tersebut memberikan potensi pada masyarakat untuk membentuk sebuah ruang publik tersendiri. Nampaknya masyarakat ruang publik didefinisikan sebagai semua wilayah kehidupan sosial yang memungkinkan masyarakat untuk membentuk opini publik, sehingga akan berdampak realitas perpolitikan di Indonesia.
Seperti yang dijelaskan di awal, semua warga masyarakat pada prinsipnya boleh memasuki dunia seperti itu. Ketika memasuki dunia tersebut, setiap masyarakat yang terjun adalah orang-orang privat, bukan orang yang menyandang kepentingan bisnis atau profesional, bukan juga pejabat atau politikus. Tetapi percakapan mereka membentuk suatu forum pubik yang dapat dipandang.
Sebab bukan soal-soal pribadi mereka yang diperbincangkan melainkan soal-soal tentang kepentingan umum yang mereka percakapkan tanpa paksaan. Mereka memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk berbicara dan mengajukan kritikan ataupun solusi. Dalam keadaan seperti inilah mereka berlaku sebagai publik. Sebab mereka memiliki jaminan untuk berkumpul dan berserikat secara bebas dan menyatakan serta mempublikkan opini-opini mereka yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
Keadaan tersebut didukung lebih oleh kesediaan fasilitas dan kemajuan teknologi. Hanya dengan menghadap sebuah layar monitor, seseorang telah dapat membuka maupun membuat forum yang membahas tentang perpolitikan lewat dunia maya. Dalam realitanya sendiri, hanya dengan berkumpul beberapa orang saja, membawa sebuah tema pembicaraan dalam hal perpolitikan, maka dengan begitu akan melahirkan berbagai opini, dan dapat dibawa ke luar, atau publik.



Banyak Parpol Baru pada Pemilu Presiden 2009
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah melantik anggota Komisi Pemilihan Umum periode 2007–2012 pada Bulan Oktober lalu berdasarkan Keppres No 101/2007. Pada Antara News Oktober lalu pula, diberitakan bahwa Presiden R.I. Susilo Bambang Yudhoyono mempersilakan siapa saja warga negara Indonesia yang ingin maju menjadi Calon Presiden pada Pemilu Presiden 2009. Setelah pemberitaan tersebut, dicoba ditelusuri pada http://www.detiknews.com/, hingga pada 1 Oktober 2007 lalu telah ada 73 parpol baru yang mendaftar untuk mengikuti Pemilu 2009.
Kini parpol menjadi topik yang hangat diperbincangkan. Berbagai rasionalisasi dilontarkan, mengapa hal tersebut yang paling sering dibahas, namun salah satu yang menarik dalam pembahasannya adalah pernyataan bahwa parpol merupakan ‘kendaran’ politik. Yang dimaksudkan adalah dengan parpol, maka seorang seorang politisi dapat melaju menuju kursi kepemimpinan. Bagi masyarakat luas, ada satu ungkapan klasik yang menggambarkan hubungan antara politisi dan parpol, "politisi tanpa parpol sama dengan menghadapi pintu tanpa kunci".
Tentu semua orang bisa membayangkan bagaimana seseorang bisa melewati sebuah pintu yang terkunci, sedangkan dia sendiri tidak memiliki kunci pintu tersebut, percuma, tidak bisa dilewati. Itu kata yang sepadan untuk membahasakan menghadapi pintu tanpa kunci. Demikian juga nasib politisi di luar parpol. Dalam hal ini parpol merupakan hal pokok bagi politisi, guna membawa misinya yang merupakan perwujudan dari apa yang diwakilkannya.
Menjelang Pemilu 2009, sejumlah daerah di Indonesia, baik tahun ini maupun tahun depan, melangsungkan pesta politik berupa pemilihan kepala daerah secara langsung, meskipun pemilihan langsung kepala daerah merupakan hal baru bagi rakyat Indonesia. Setelah itu, akan terlahir sebuah opini baru dalam publik, akan terdapat adanya independensi bagi figur publik tertentu untuk mencalonkan diri dalam pilkada tanpa ’menumpang’ parpol tertentu. Bahwa politisi tanpa parpol ibarat pintu tanpa kunci sepertinya mulai tidak mutlak terjadi dengan dibakukannya calon independen dalam pilkada.
Apakah kenyataan ini pantas dilihat sebagai tantangan bagi parpol? Calon independen akan menjadi tantangan bagi parpol ketika parpol telah berubah fungsi dari ruang publik ke ruang privat. Bila yang terjadi demikian, fungsi partai sebagai ruang publik bergeser menjadi ruang privat, maka jangan heran sebab cepat atau lambat simpati rakyat justru lebih fokus pada calon independen yang cerdas dan tak bercacat. Tetapi apabila parpol tetap eksis sebagai ruang publik dan tetap berkiprah mewujudkan fungsinya sebagai public sphere maka simpati publik terhadapnya tak mungkin berkurang dengan hadirnya calon independen.
Simpati rakyat pada parpol yang tetap tinggi dapat berarti rakyat makin rasional dalam menilai "produk" parpol (politisi) pada "Pesta Demokrasi Rakyat" (Pemilu). Sebaliknya, rakyat yang tetap setia dengan parpol tertentu, hal itu bisa berarti rakyat masih memegang prinsip-prinsip tradisional kepartaian.
Banyak munculnya parpol baru pastilah memiliki banyak faktor. Banyak argumen dan pendapat dari pubik mengenai kemunculan partai-partai baru tersebut.
Dikutip dari, mayapadaprana@yahoogroups.com
Peluang dan tantangan Partai Politik baru menuju Pemilu 2009,
"Meskipun Pemilu 2009 masih dua tahun lagi, telah terjadi euforia politik mendirikan partai baru. Secara tipologis ada beberapa hal yang menjadi sebab munculnya partai-partai baru tersebut. Pertama, partai-partai baru yang muncul dilatarbelakangi oleh keinginan membangun alat politik baru karena yang lama sudah tidak memadai. Kedua partai-partai baru yang muncul karena pertentangan/konflik internal partai-partai lama/partai besar. Ketiga, partai baru hasil penggabungan partai-partai kecil yang dulunya memperoleh suara kecil dan terancam oleh mekanisme verifikasi Depkeham dan KPU, maupun electoral threshold, misalnya Partai Kristen Bersatu. Keempat, partai-partai baru yang digagas oleh aktivis gerakan rakyat, gerakan mahasiswa, LSM, serikat buruh, serikat tani, atau pekerja seni."
Komentarnya mengenai beberapa analisa dari munculnya berbagai partai baru di pemilu mendatang tersebut memang cukup logis dan menimbulkan tanggapan tersendiri oleh banyak pihak.
Opini tentang latarbelakang munculnya partai baru dikarenakan "yang sudah lama tidak memadai" itu dapat ditemukan persamaan atas dasar dari Lingkaran Survei Indonesia. Dalam survey yang dilakukannya, Dituliskan bahwa menjelang tiga tahun sejak SBY- JK dilantik menjadi presiden RI, terjadi perubahan public mood atau persepsi publik yang sangat signifikan. Survei yang dilakukan dari tanggal 9 hingga 14 September 2007, diadakan di seluruh Indonesia, di tiga puluh tiga propinsi, ternyata memberikan hasil sebagai berikut:
Ketika dilantik Oktober 2004, SBY, presiden pertama yang dipilih secara langsung, memperoleh tingkat kepuasan publik sangat tinggi (di atas 80%). Menjelang tiga tahun kemudian (September 2007), tingkat kepuasaan itu jatuh pada titik terendah 35.3%. Dalam waktu hampir tiga tahun, tingkat kepuasan atas SBY merosot sekitar 45%. Lebih dari itu, sudah terjadi apa yang disebut "mental switch" dalam politik. Lebih banyak publik yang mulai mencari figur baru untuk presiden 2009. Hanya di bawah 30% pemilih yang menginginkan SBY kembali menjadi presiden.
Didukung lagi dengan hasil survey yang dilakukan oleh PusDeHAM (Pusat Studi Demokrasi dan HAM) yang dilakukan pada periode bulan Agustus hingga September di 336 provinsi di Indonesia dengan responden sejumlah 3.527 orang. Ternyata juga memberikan hasil yang tidak jauh beda, hanya 33 persen responden yang menyatakan puas terhadap kinerja SBY-Kalla. Sebanyak 67 persen sisanya mengatakan tidak puas. Tingkat kepuasan tersebut menurun tajam dibandingkan pada awal pemerintahan yang mencapai 80 persen
Ketidakpuasan publik terhadap kinerja pemerintah tecermin, antara lain, di bidang ekonomi. Setelah 18 bulan memerintah, pemerintahan SBY menghadapi situasi yang tidak menguntungkan. Penyebabnya, mayoritas publik sedang kecewa dengan kondisi ekonomi. Mereka mudah sekali marah, bereaksi, dan protes. Di era seperti ini sulit sekali bagi pemerintahan SBY untuk mengambil kebijakan yang kontroversial seperti pemaafan Suharto, ataupun yang tidak populis seperti kenaikan tarif dasar listrik dan revisi UU Tenaga Kerja yang radikal. Mayoritas publik yang sedang kecewa mudah sekali tersulut dan mendukung oposisi
Kekecewaan masyarakat tidak berhenti sampai di situ saja, hal lain yang berpengaruh pada kekecewaan yang terus meningkat adalah disebabkannya harga bahan bakar minyak (BBM) dan sembilan bahan pokok (sembako) terus melonjak. Selain itu, pemerintah dinilai gagal mengentas kemiskinan dan mengurangi pengangguran.
Masyarakat juga kecewa terhadap kinerja pemerintah dalam bidang pertanian. Tidak fokusnya program kerja pemerintah dalam bidang ekonomi berpengaruh terhadap menurunnya popularitas SBY dalam hal electoral. Pasca kenaikan harga BBM, ada anggapan cerah dan anggapan suram publik terhadap kinerja dari kepemimpinan SBY-JK. Anggapan suramnya, ketidakpuasan publik terhadap kondisi ekonomi melonjak drastis. Untuk pertama kalinya, popularitas presiden SBY di bawah perolehan hasil Pemilu Presiden. Isu kenaikan harga BBM juga membuat dukungan terhadap kelompok oposisi menguat. Sementara anggapan cerahnya, publik mengapresiasi dengan baik tindakan pemberantasan korupsi yang dilakukan SBY. Publik juga masih percaya dengan kemampuan dan personality SBY. Hal tersebut berarti setidaknya memberikan peluang kepada SBY-JK untuk tetap melakukan kepemimpinannya, ataupun melanjutkannya pada Pemilu 2009.
Setelah melewati separuh masa pemerintahannya selama dua setengah tahun, pemerintahan SBY-JK menghadapi persoalan yang lebih berat ditinjau dari sisi opini publik. Pemerintahan SBY-JK bukan saja menyaksikan menurunnya tingkat kepuasan publik atas kinerja pemerintahannya di berbagai bidang. Yang jauh lebih parah adalah sudah terbentuk pesimisme baru publik atas masa depan kapabilitas pemerintahan dalam menangani masalah ekonomi. SBY- JK harus menyegarkan kembali pemerintahannya dan mengambil kebijakan yang mempunyai efek massif untuk membangkitkan kembali harapan dan optimisme publik.


seperti opini yang ditemui di Indonesia Media Online, dikutip beberapa kalimat:
Awal Pemerintahan Yang Meragukan.
Program terapi kejut (shock therapy) diluncurkan sebagai jalan pintas untuk menuai citra awal yang positif. Penjara- penjara disidak dan koruptor dipindahtempatkan, pasar-pasar rakyat dan terminal dikunjungi, aparat kejaksaan dikumpulkan dan diberi wejangan. Saat yang sama, mereka lupa membeberkan kepada publik bagaimana program dan langkah yang jelas dan bertahap yang akan dikerjakan oleh masing-masing kementerian dalam jangka waktu tertentu. Dan apa yang disebut sebagai terapi kejut itu juga tak begitu jelas: apanya yang mengejutkan, apanya yang mengerikan? Tidak ada sesuatu yang dapat membangkitkan efek psikologis yang mendalam dan menjerakan bagi pihak-pihak terkait. Semuanya tak lebih dari sekadar prosesi public relations, tanpa pengungkapan isi dan itikad sejati.
Masalahnya, realitas politik adalah realitas opini publik. Kinerja politik sering dipandang berdasarkan apa yang disebut Matthew Dawd (mantan direktur jajak pendapat dan perencanaan media Presiden George Bush) sebagai urban political legend. Jika sesuatu terus-menerus dikatakan, dimuat secara ekstensif dan intensif oleh media massa, dan dinyatakan oleh para analis, lama-lama publik perkotaan akan mempercayainya.
Citra SBY selama ini sering dilukiskan oleh media dan para pengamat sebagai peragu dan tidak tegas (indecisive). Jika SBY memenuhi citra ini dengan keputus- an-keputusannya yang inkonsisten, akan terjadi apa yang disebut sebagai self-fulfilling prophecy (nubuat yang memenuhi dirinya sendiri). Jika situasi ini terus berulang, sebuah urban political legend akan terbentuk, dan akan sulit bagi SBY untuk keluar dari stigma seperti ini. Sebuah citra baik di saat kampanye akan surut ke titik penjenuhan (point of diminishing return). Semuanya akan bermuara pada delegitimasi politik.
Menghadapi dua setengah tahun ke depan, SBY-JK diharapkan menyegarkan kembali pemerintahannya, dengan mengambil kebijakan radikal untuk cepat megangkat kesejahteraan masyarakat. Tahun 2007 adalah tahun yang paling kondusif untuk mengukir prestasi ekonomi, karena tahun 2008, apalagi 2009 sudah dipenuhi oleh intrik dan konflik menuju pilpres 2009. Mungkinkah karena faktor tersebut, sehinga membawa publik ke arah banyaknya muncul partai-partai baru pada Pemilu 2009 mendatang?

Kebutuhan Publik akan kehadiran "Hal yang baru"
Dengan kebutuhan publik akan kehadiran sebuah hal baru tersebut, akhirnya timbul kekhawatiran dari sisi partai-partai yang telah lama berdiri. Kehadiran partai baru di Pemilu 2009 mendatang, dikhawatirkan akan menyedot massa mereka yang selama ini masih setia bersama partai itu ke dalam partai baru.
Partai-partai lama tentunya akan melakukan hegemoni kesadaran terhadap masyarakat agar kekuasaan tetap bisa direngkuh. Sebagai contoh, Golkar akan tetap mengorganisasi modal ekonomi-politik lama untuk menampilkan citra dan memobilisasi suara, melalui struktur dan media-media yang dikuasainya. Demikian juga, PKS akan tetap melakukan hegemoni kesadaran dengan menggunakan agama dan rasialisme, mengumandangkan sentimen moral dan agama untuk mempertahankan dan meningkatkan perolehan suaranya--bahkan juga menyebarkan paham fatalisme dan mistisisme dengan mengintervensi media (TV, koran, majalah, tabloid) agar kesadaran rakyat terpaku pada kebenaran program-program partainya.
Meskipun demikian, partai baru masih akan tetap memiliki peluang untuk mengambil posisi berhadapan dengan partai-partai lama sepanjang ia mampu menerapkan landasan ideologis, strategi-taktik, program, dan tindakan politik yang mampu merubah kesadaran massa ke arah perbaikan struktur ekonomi-politik yang memihak rakyat. Jika menurut data-data penelitian di atas, partai-partai lama masih akan tetap menang, mungkin kemenangan mereka tidak akan sekuat pada pemilu sebelumnya.
Artinya, partai-partai baru disediakan oleh kondisi objektif masyarakat yang harus direspons dengan tampilan partai yang cocok untuk perubahan. Partai baru masih punya ruang terbuka untuk menantang--bahkan menggantikan--posisi partai-partai lama yang nyata-nyata tidak mampu menyelesaikan masalah, seperti yang dalam pemikiran masyarakat selama ini. Masyarakat ternyata belum puas tehadap keadaan kepemimpinan sekarang, mereka membutuhkan seorang figur yang sesuai dengan yang mereka harapkan. Seperti yang dikutip pada situs KRHN (Reformasi Hukum), ada beberapa opini yang terbentuk di sana, diantaranya:

Mencari Potensin Kepemimpinan Lokal
Munculnya figur pemimpin baru dalam perpolitikan nasional bisa berasal dari banyak pintu. Selain melalui pintu kaderisasi oleh partai politik, pemimpin baru juga bisa datang dari tokoh yang selama ini berkiprah di daerah, baik dari jalur birokrat, pengusaha, maupun tokoh politik lokal. Kunci utama untuk terjun ke percaturan politik yang lebih tinggi, menurut pandangan publik, tak lain adalah citra bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
Peluang elite lokal berkiprah di tingkat nasional terbuka sangat lebar di tengah krisis kepemimpinan yang ditandai oleh ketiadaan tokoh baru untuk menggantikan elite politik nasional yang sudah bercokol sejak lama. Peningkatan jenjang karier dari tingkat lokal ke nasional ini sangat dimungkinkan dan biasa terjadi dalam hierarki politik. Peluang besar bisa jadi dimiliki oleh birokrat daerah yang selama ini sudah memiliki jaringan di pemerintahan.

Demokrasi Efektif
Menjelang akhir tahun 2007 dan memasuki tahun 2008, jagad perpolitikan Tanah Air mengalami pemanasan menyongsong pemilu yang akan dilaksanakan pada tahun 2009. Beberapa partai besar mulai mendklarasikan jagonya untuk diajukan dalam pemilihan presiden langsung. Tokoh-tokoh lama yang diperhitungkan akan maju lagi dalam pememilihan presiden terlihat memanfaatkan momen Lebaran untuk melakukan terobosan-terobosan politik. Presiden SBY memperkuat modal politik populis dengan menyambut masyarakat yang kembali dari mudik Lebaran di Terminal Kampung Rambutan. Yusuf Kalla mendatangi tokoh-tokoh nasional untuk melakukan silaturahim politik. Jago baru, mantan gubernur DKI Sutiyoso juga sudah mengibarkan bendera dan mengendus dukungan.
Sebelumnya, PDIP juga telah menumumkan pencalonan kembali Megawati. Kita masih akan mendengar tokoh-tokoh lain seperti Wiranto dan Amien Rais. Dalam demokrasi, menyemai 'tanaman politik' yang bisa dipanen pada musim kampanye nanti merupakan tindakan yang sah.
Pada opini "Mencari Potensin Kepemimpinan Lokal" dimaksudkan memang sang penulis mengutarakan suaranya bahwa dalam Pemilu mendatang mungkinkan akan menghadiri wajah-wajah yang baru, walaupun masih terdapat wajah lama dalam pesta demokrasi tersebut. Dalam tulisannya, dia memberikan penjelasan kepada pembaca, bahwasanya seorang figur kepemimpinan dapat dimunculkan pada situasi lokal.
Sedangkan pada tulisan kedua "Demokrasi Efektif" dituliskan bahwa walaupun terdapat wajah baru pada Pemilu 2009 mendatang, namun wajah-wajah lama yang kembali hadir tetap menjadi sorotan.

Terlalu Pusing Memilih
Banyaknya partai-partai dengan janjai-janjinya yag hampir sama satu sama lain, ternyata malah membuat publik membawanya ke ke arah pembahasan mengenai penyederhanaan partai politik di Indonesia. Hal tersebut terjadi karena dimungkinkan publik terlalu banyak dihadapkan pada banyak pilihan partai, sedangkan dari publik sendiri tidak ingin pusing dalam memilih.
Pada Majalah Tempo Edisi 9-15 Juli 2007 terdapat penulisan mengenai "Plus – Minus penyederhanaan Partai". Dituliskan di situ ada beberapa alternatif / opsi dalam melakukan penyederhanaan partai oleh pemerintah, dikutip dari majalah tersebut, diantaranya:
Electoral Threshold
Sulit membangun sistem kepartaian yang sederhana sekaligus representatif secara maksimal dalam masyarakat yang heterogen seperti Indonesia. Diusulkan agar electoral threshold atau ambang batas minimal perolehan suara partai dalam Pemilu 2009 dinaikkan dari tiga menjadi lima persen. Bila usul ini disetujui, partai-partai yang mendapat suara di bawah lima persen dalam Pemilu 2009 tidak bisa ikut dalam Pemilu 2014.
Jika hal ini dihubungkan dengan opini dari Mira tadi, berarti partai-partai kecil yang terancam tersebut, akan melakukan koalisi (Kerjasama / bergabung) membentuk sebuah partai baru, seperti pada hal ketiga yang dia kemukakan.
Sistem Pluralitas Sederhana
Alternatif lain untuk penyederhanaan sistem kepartaian adalah mengubah sistem proportional representation (PR) seperti yang dianut Indonesia sekarang menjadi sistem pluralitas – secara kurang tepat sering disebut dengan sistem distrik. Di negara-negara demokrasi, sistem pluralitas dari varian first past the post (FPTP) atau pluralitas sederahana dan varian block vote cukup membantu menyederhanakan sistem kepartaian dibandingkan sistem PR dengan segala variannya.
Sama seperti usul untuk menaikkan electoral threshold menjadi sepuluh persen, perubahan sistem PR menjadi sistem pluralitas kemungkinan besar akan mendapat perlawanan dari partai-partai yang mendapat suara sedikit di banyak daerah pemilihan
Tetap Demokratis
Sistem pluralitas mengebiri demokrasi karena mengabaikan suara rakyat yang memilih partai-partai lain yang tidak mendapat kursi di DPR, walaupun bila ditotal bisa cukup besar. Suara terbuang itu bisa dikurangi kalau jumlah partai yang bersaing sedikit, Tapi reaksi negatif lain akan muncul, kemungkinan tingkat partisipasi lebih rendah dalam pemilihan umum sebab jumlah partai yang sedikit akan mempersempit keragaman aspirasi pemilih. Ini akan mendorong warga tidak ikut serta dalam pemilihan umum.
Seperti yang dituliskan pula pada Editorial Media Massa Indonesia, 9 Januari 2007. Menilik dari Pemilu yang lalu, dituliskan bahwa terlalu banyak Parpol yang bermain. Dalam tulisannya,


Parpol Terlalu banyak
Partai politik di Indonesia kembali dibicarakan. Kali ini datang dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Pemilu 2009 sebaiknya hanya diikuti paling banyak 12 parpol. Bila mengacu kepada keinginan PDIP, Indonesia didambakan menjadi negara dengan sistem kepartaian sederhana. Tidak dua partai, tetapi tidak juga multipartai. Dengan maksimum 12 partai, penyelenggaraan kehidupan bangsa dan negara serta pertumbuhan demokrasi dianggap lebih efisien, efektif, dan masuk akal. Terlepas dari sistem multipartai atau dua partai, penyelenggaraan negara yang efisien dan efektif adalah bekerjanya mekanisme check and balances secara baik. Baik artinya mudah dimengerti dan gampang diformulasikan.
Biasanya yang mudah dan gampang itu didukung secara masuk akal oleh sistem kepartaian yang sederhana. Tidak multipartai. Bila partai tidak terlalu banyak, rakyat tidak bingung ketika memilih. Bila partai tidak terlalu banyak, pemerintahan bisa berjalan lebih cekatan dan cepat karena proses pembentukan koalisi lebih mudah.
Dan juga, bila jumlah partai tidak terlalu banyak, peluang partai-partai untuk meraih kemenangan mayoritas lebih mudah. Itu syarat penting bagi stabilitas pemerintahan. Lagi pula, bila peserta pemilu tidak terlalu banyak, biaya penyelenggaraan menjadi lebih murah.
Kenyataan di Indonesia saat ini sangat ironis. Partai banyak dan dideklarasikan terus-menerus dari bulan ke bulan. Namun, hampir tidak ada perbedaan jelas antara platform partai yang satu dan lainnya. Yang amat kentara perbedaan platformnya adalah antara partai nasionalis dan partai agama. Namun, di Indonesia partai-partai yang bernapaskan agama berjubel dan terus lahir, demikian pula partai yang bernapaskan nasionalisme. Kelahiran partai baru semakin tidak terkendali ketika orang-orang yang kecewa dengan partainya membentuk partai baru dengan amat gampang.
Jadi, kita sebaiknya mengarah ke sistem partai sederhana. Tidak didasarkan dekrit atau keppres, tetapi pada ketentuan mengenai electoral threshold. Dengan demikian jika ingin menyederhanakan partai, naikkan saja electoral threshold dari sekarang 3% menjadi 4% atau 5% bahkan lebih. Dan jangan lupa juga untuk membolehkan partai lokal hidup di daerah-daerah yang menjadi basis eksistensi mereka.
Opini tentang penyederhanaan parti dapat dimungkinkan berkembang pada publik dalam pembahasannya. Karena pada dasarnya publik sebenarnya hanya menginginkan sebuah pemimpin yang pas untuk negara ini, tanpa membuat mereka sendiri pusing dalam mengikuti Pesta Demokrasi tersebut dari proses pencalonan hingga pemilihan.
Pemilu masih setahun lagi, 2009. namun telah banyak opini yang terbentuk. Dari sebab munculnya keberadaan banyak partai, kekecewaan terhadap kepemimpinan sekarang, hingga mengingikan adanya proses yang mudah dalam memilih partai pada Pemilu 2009. Masih banyak yang diamati menjelang setahun ke depan saat Pesta Demokrasi rakyat tersebut dimulai.

Koran jablay

Jika sedang berada di jalan, perempatan lampu merah, ataupun tempat umum, dapat ditemui pengecer koran, dan itu sudah biasa. Namun ada yang menarik pertahian jika dilihat dari apa yang mereka jual, media cetak nasional dijual (Koran) dengan harga murah, seribu rupiah! Harga yang sangat menarik, jika dilihat dari tebal halaman Koran yang dikatakan relatif tidak tipis dan dijual dengan murah.
Mungkin memang Koran dengan harga jual semurah itu jika dilihat keadaan di sore hari dapat sedikit dimengerti. Mengingat sang agen & pengecer lebih memilih barang dagangannya habis pada hari itu juga, ketimbang menjadi retur. Namun memang suatu kenyataan jika Koran dengan harga semurah itu telah dapat ditemui dapat ditemui sekitar pukul 10.00 / 11.00.
Perlu dimengerti, selama ini yang telah dijumpai justru adalah koran-koran tingkat jangkauan nasional yang berani membandrol eceran seharga Rp. 1.000,- dengan waktu "sepagi" itu. Dan walaupun dengan harga Rp. 1.000,-, bukan berarti hal karena produk mereka tidak laku, dapat dibuktikan, iklan yang terpampang pun juga terhitung laris. Sungguh mengesankan!
Siapa yang tidak tergiur melihat Koran dengan harga seperti itu. Wajar lah jika secara awam, dilihat secara ekonomis dan efisien, jika orang diminta untuk memilih antara koran nasional dengan harga Rp. 1000,- atau koran lain dengan harga di atas itu, dan belum tentu nasional, dimungkinkan cenderung lebih menarik Koran nasional dengan harga murah. Terlebih pada tingkatan pelajar yang memiliki keterbatasan dalam segi finansial.
Dalam publik, Koran-koran tersebut biasa diistilahkan Koran "jablay", entah bagaimana bisa disebut seperti itu, adalah berhubungan degan harga yang disodorkan pada konsumen. Memang benak awal ketika pertama kali menjumpai koran dengan harga jual serendah itu dengan waktu yang tidak wajar adalah image dari Koran itu. Bagaimana sejarah mulanya Koran nasional muncul dengan harga serendah itu? Apakah ada permasalahan di balik itu? Ataukah memang strategi media tersebut?
Lalu berikutnya, bagaimana nasib dengan Koran di luar itu? Alih-alih jika koran-koran lain bisa bersaing atau mengungguli koran nasional dengan harga normal, bagaimana jika sekarang dihadapkan dengan pesaing dengan bandrol lebih berani sekarang? Sangat sulit jika para pesaing yang merasa terpukul dengan saingan bandrol berani tersebut coba menandingi dengan harga yang serupa atau lebih berani. Dilihat dengan keadaan pengiklan mereka yag tidak sehebat dengan koran nasional, tidak bisa menutup jika hanya bergantung pada iklan, pengaruh harga dan konsumen sangat kental.
Banyak yang bisa dianalisa oleh setiap orang mengenai gejala ini, terlebih pada dampak strategi pasar koran nasional seperti ini pada beberapa pihak. Dari pihak agen misalnya, keadaan harga bandrol seperti ini tentu saja semakin menyulitkan para agen dalam mencari ataupun mempertahankan pelanggannya. Karena jika dihitung-hitung, lebih ekonomis berlangganan secara eceran rutin Rp. 1.000,- . Untuk sebulannya jika hal itu dilakukan, maka hanya menghabiskan dana sekitar kurang lebih Rp. 30.000,- saja dibandingkan jika berlangganan bulanan daripada harus mengras kocek lebih mahal, bahkan bisa 2 kali lipat. Tentu saja agen mau ridak mau harus berpikir keras utnuk mempertahankan konsumennya agar tidak berpaling pada perhitungan seperti itu. Karena jika tidak, mungkin saja sang agen bangkrut.
Namun hal yang paling menarik untuk disorot adalah bagaimana nasib para media cetak lokal menghadapi kenyataan pasar tersebut. Mungkin para media cetak nasional melakukan strategi pengambilan keputusan bandrol harga tersebut guna menyaingi pesaing-pesaing media cetak nasional lainnya. Namun, secara tidak langsung, media-media lokal yang ada di daerah terkait pun juga terkena efek dari strategi tersebut.

Jika dianalisis dengan analisa S.W.O.T., maka setidaknya bisa memiliki gambaran bagaimana yang akan terjadi pada media cetak lokal tersebut.

Strength (Kekuatan)
Dalam sisi kekuatan, media cetak lokal tentu saja masih memiliki posisi tersebut. Keberadaan media cetak lokal di daerahnya, tentu saja memberikan (Top of mind) di kalangan masyarakat atau daerah tersebut sebagai media cetak lokal yang tentu saja menyediakan segala informasi di daerah lokal dan sekitar.
Berbeda dengan koran nasional, yang menyajikan informasi secara nasional. Masyarakat terkadang berpikir dua kali jika membeli koran nasinoal sedangkan dia lebih membutuhkan berita lokal dan di daerahnya sendiri. Dari sisi tersebut, media cetak lokal bisa mengunggulkan posisi tersebut. Degan meningkatkan kualitas pemberitaan di daerah lokal yang mungkin tidak dapat dijamah seluruhnya oleh media cetak nasional.
Untuk dari segi sirkulasinya sendiri, media cetak seharusnya lebih unggul. Karena secara logika media cetak lokal tentu saja telah mengenal daerah dan medan dari daerah itu sendiri. Disamping itu, waktu yang dibutuhkan untuk sirkulasi jika mengedarkan produknya dirasa lebih cepat dan ringkas dibandingkan dengan koran nasional untuk memasukui sirkulasinya ke daerah yang sama tersebut, pasti lah tidak langsung ke konsumen, melainkan melewati tahapan terlebih dahulu. Dan waktu yang dibutuhkan koran nasional untuk membandrol harga menjadi Rp. 1.000,- ketika lebih dari pkl. 09.00. Jadi sebelum waktu tersebut, harga koran nasional masih normal.
Keadaan itu bisa menjadi kekuatan bagi media cetak lokal apabila strategi sirkulasi dan pemasarannya dengan agen apabila dilakukan dengan tepat, sebelum harga normal koran nasional menjadi "jablay", koran lokal harus segara disampaikan ke tangan konsumen.

Weakness (Kelemahan)
Posisi media lokal sebagai penyalur informasi secara lokal, bisa juga menjadi kelemahan tersendiri. Dikareakan tidak seluruh warga lokal (daerah) hanya menginginkan informasi secara lokal dan sekitar aja. Kebutuhan akan informasi yang lebih luas dari warga lokal adalah hal yang sulit diwujudkan oleh media cetak lokal.
Kelemahan yang paling tampak (mencolok) juga terletak apabila media cetak nasional mulai membandrol harganya menjadi Rp. 1.000,-. Sulilt jika media cetak lokal coba menandinginya dengan ikut membandrol "harga dirinya". Karena sumber utama dari koran lokal adalah iklan dan konsumen. Tidak mungkin jika hanya mengandalkan iklan saja, mengingat pengiklan di koran lokal tidak semeriah di kora nasional. Sehingga media cetak lokal tersebut mau tidak mau kukuh dengan harga aslinya.
Terkadang cakupan pemasaran koran lokal untuk menjamah lebih dari sekitar daerah lokal sulit. Dikarenakan belum tentu masyarakat di luar daerah lokal mengenal media cetak lokal tersebut. Mereka cenderung pertama lebih mengenal koran nasional secara banyak yang mengenal karena pemasarannya yang secara nasional.
Belum lagi dengan keadaan sumber daya manusia dari media cetak lokal sendiri ketimbang media cetak nasional. Kemampuan koran nasional dalam menyajikan rubrikasi secara beragam dan banyak bisa melemahkan ketertarikan konsumen pada koran lokal. Hal itu diperlemah lagi saat koran nasional dengan harga bandrol Rp.1.000,-. Siapa yang tidak tertarik dengan informasi beragam dan banyak dengan harga murah?

Opportunity (Peluang)
Sedangkan peluag pada media cetak lokal sendiri terletak pada pemasang iklan media cetak lokal. Terkadang ada juga produk lokal dimana sang pengiklan berpikit lebih efektif untuk menjamah konsumen secara lokal dan sekitar terlebih dahulu. Disamping itu pula efisiensi dan sifat pemasangan harga yang cenderung lebih murah (ekonomis) dibandingkan jika memasang iklan di media cetak nasional, yang belum tentu produknya juga bertaraf nasional (Menyeluruh ke setiap daerah).
Dengan berarti, media cetak lokal masih dapat untuk tetap bertahan dengan harga yang normal walaupun dengan pesaingnya yang nasional dengan harga murah. Namun konsekuensinya memang harus mengandalkan pada kepercayaan konsumen dari sisi pemberitaan lokal yang lebih dipercaya informatif dan terkait dengan itu juga pada pengiklan yang masih bertahan dengan media cetak lokal dengan harapan konsumen lokal lebih efektif.

Threatment (Ancaman)
Ancaman untuk koran lokal paling jelas terdapat pada strategi dari koran nasional itu sendiri. Bisa saja suatu saat koran nasional lebih nekat lagi menaruh strategi pemasarannya dengan membandrol harga hingga di bawah Rp. 1.000,-, bahkan bisa jadi dengan harga cuma-cuma!
Kecenderungan itu bisa saja terjadi, mengingat koran nasional saat ini saja telah berani membandrol dengan harga yang rendah, berarti tidak ada permasalahan dari ssi pemasaran dan periklanan, khususnya periklanan. Bisa dimungkinkan koran nasional sudah dapat hidup haya dari para pemasang iklan tanpa memperdulikan berapa laba yang bisa diambil dari konsumen / pembaca.
Berbeda dengan koran lokal yang banyak menaruh harapan pada harga yang kenakan pada konsumen / pembaca untuk menutupi biaya produksi / laba yang tidak hanya dari pemasangan iklan saja
Dengan kata lain, media lokal harus tetap berusaha untuk terus berpikir keras bagaimana caranya untuk dapat tetap bertahan hidup dan dianggap keberadaanya di mata konsumen, walaupun sang koran "jablay" terlihat mencolok.
Sehingga sangat sulit berprospek bagi media cetak lokal apabila tidak memiliki strategi yang khusus berpusat pada daerahnya sendiri dan memberikan hal yang menonjol bagi pembacanya agar tetap menjadi "top of mind" di daerahnya sendiri.

Apakah dengan kehadiran Surat Kabar Elektronik (SKE), Surat Kabar Cetak (SKC) akan ditinggalkan pembacanya?

Walaupun dengan kehadiran SKE yang berkembang begitu pesat, bukan berarti SKC akan begitu saja ditinggalkan oleh pembacanya. Memang tidak bisa dipungkiri, dengan meningkatnya sistem teknologi yang ada, tingkat konsumsi orang terhadap SKC cenderung menurun.
Kemudahan dalam mengakses dan memperoleh berita-berita terkini lewat SKE merupakan faktor utama mengapa "Pemburu" informasi lebih memilihnya. Disamping keunggulan SKE yang bersifat cepat dalam penyampaian informasi (Aktual), SKE pun dapat diperoleh kapan saja sesuai dengan kebutuhan.
Para penerbit surat kabar cetak pun kini telah membuat surat kabar versi on line. Namun pada kenyataannya, orang-orang disamping dengan menggunakan SKE, mereka tetap menggunakan SKC sebagai pendamping jembatan informasi. Masih adanya minat penggunaan SKC sebagai pendamping itu dikarenakan para pembaca terkadang tak mau bersusah payah mencari media on line yang harus membutuhkan media elektronik seperti komputer untuk menggunakanya.
Sedangkan dengan SKC, mereka hanya tinggal mengeluarkan beberapa lembar uang saja untuk mendapatkannya. Memang ada kelebihan dan kekurangannya.
Implikasi yang ada di Indonesia daripada hal tersebut.
Di Indonesia sendiri keberadaan SKE pada masyarakat cukup memberikan pengaruh yang besar dibandingkan SKC. Akan tetapi SKC belum dapat ditinggalkan oleh pembacanya walaupun telah ada SKE. Seperti: Internet, Blogs, Chat, dsb.
Internet merupakan pilihan masyarakat Indonesia dalam menjangkau SKE. Sayangnya, penggunaan internet di Indonesia belum begitu besar apabila dibandingkan pada negara-negara lain.
Umumnya, masyarakat Indonesia terhalang pada keterbatasan fasilitas dan penunjang dalam menjangkau SKE. Disamping itu, masyarakat yang memiliki pemahaman seperti internet masih sedikit jumlahnya jika dibandingkan dengan keseluruhan masyarakat Indonesia yang ada. Dikarenakan belum seluruhnya masyarakat Indonesia dapat memahami internet, sehingga peran SKC masih sangat tampak pada masyarakat.
Namun tak bisa dipungkiri, teknologi informasi semakin cepat berkembang dan harganya semakin terjangkau. Dulu komputer sangat mahal, tetapi sekarang komputer sudah banyak di rumah-rumah di pedesaan. Dulu, biaya untuk akses internet sangat mahal, sekarang masih mahal bagi sebagian masyarakat, dan ke depan sangat mungkin harganya lebih terjangkau.
Tentu saja masyarakat Indonesia juga menginginkan berkembang seiring dengan semakin majunya teknologi. Begitu juga dengan media yang berkaitan, mereka juga akan berusaha untuk mengikuti perkembangan yang ada pada masyarakat.
Seperti salah satu pada teori Komunikasi Massa: Media Critical Theory. Dimana setiap media yang ada berusaha untuk cederung mencari dan menyediakan alternaif pada masyarakat. Dalam hal ini adalah Surat Kabar.Walaupun dengan kehadiran SKE yang berkembang begitu pesat, bukan berarti SKC akan begitu saja ditinggalkan oleh pembacanya. Memang tidak bisa dipungkiri, dengan meningkatnya sistem teknologi yang ada, tingkat konsumsi orang terhadap SKC cenderung menurun.
Kemudahan dalam mengakses dan memperoleh berita-berita terkini lewat SKE merupakan faktor utama mengapa "Pemburu" informasi lebih memilihnya. Disamping keunggulan SKE yang bersifat cepat dalam penyampaian informasi (Aktual), SKE pun dapat diperoleh kapan saja sesuai dengan kebutuhan.
Para penerbit surat kabar cetak pun kini telah membuat surat kabar versi on line. Namun pada kenyataannya, orang-orang disamping dengan menggunakan SKE, mereka tetap menggunakan SKC sebagai pendamping jembatan informasi. Masih adanya minat penggunaan SKC sebagai pendamping itu dikarenakan para pembaca terkadang tak mau bersusah payah mencari media on line yang harus membutuhkan media elektronik seperti komputer untuk menggunakanya.
Sedangkan dengan SKC, mereka hanya tinggal mengeluarkan beberapa lembar uang saja untuk mendapatkannya. Memang ada kelebihan dan kekurangannya.
Implikasi yang ada di Indonesia daripada hal tersebut.
Di Indonesia sendiri keberadaan SKE pada masyarakat cukup memberikan pengaruh yang besar dibandingkan SKC. Akan tetapi SKC belum dapat ditinggalkan oleh pembacanya walaupun telah ada SKE. Seperti: Internet, Blogs, Chat, dsb.
Internet merupakan pilihan masyarakat Indonesia dalam menjangkau SKE. Sayangnya, penggunaan internet di Indonesia belum begitu besar apabila dibandingkan pada negara-negara lain.
Umumnya, masyarakat Indonesia terhalang pada keterbatasan fasilitas dan penunjang dalam menjangkau SKE. Disamping itu, masyarakat yang memiliki pemahaman seperti internet masih sedikit jumlahnya jika dibandingkan dengan keseluruhan masyarakat Indonesia yang ada. Dikarenakan belum seluruhnya masyarakat Indonesia dapat memahami internet, sehingga peran SKC masih sangat tampak pada masyarakat.
Namun tak bisa dipungkiri, teknologi informasi semakin cepat berkembang dan harganya semakin terjangkau. Dulu komputer sangat mahal, tetapi sekarang komputer sudah banyak di rumah-rumah di pedesaan. Dulu, biaya untuk akses internet sangat mahal, sekarang masih mahal bagi sebagian masyarakat, dan ke depan sangat mungkin harganya lebih terjangkau.
Tentu saja masyarakat Indonesia juga menginginkan berkembang seiring dengan semakin majunya teknologi. Begitu juga dengan media yang berkaitan, mereka juga akan berusaha untuk mengikuti perkembangan yang ada pada masyarakat.
Seperti salah satu pada teori Komunikasi Massa: Media Critical Theory. Dimana setiap media yang ada berusaha untuk cederung mencari dan menyediakan alternaif pada masyarakat. Dalam hal ini adalah Surat Kabar.

Mig33, trend gaya chatting lewat ponsel

Mig33 merupakan sebuah situs di internet, dimana dalam situs tersebut sama halnya seperti YahooMessager, yaitu situs chatting. Seperti yang sudah diketahui, chatting merupakan istilah komunikasi dalam dunia maya (Dunia Internet / On Line) dimana antar komunikator maupun komunikan tidak bisa mengetahui secara pasti situasi dan kondisi lawan bicaranya. Dan yang lebih hebat lagi, seseorang dapat bertahan lama di depan monitor komputer hanya dengan chatting. Dengan kata lain, keberadaan chatting ternyata dapat memberikan pengaruh kepada model komunikasi manusia, bahkan cara mereka berkomunikasi.
Model komunikasi seperti chatting sudah lama diketahui dan dilakukan. Berhubungan dengan Mig33, situs ini ternyata juga menyediakan sebuah aplikasi/program yang bisa didownload (diambil dan digunakan melalui telepon genggam/ponsel). Tentu saja dengan spesifikasi ponsel tertentu, minimal memiliki fasilitas GPRS untuk mengakses internet/on line.
Dengan ponsel yang memiliki fasilitas tersebut, dengan kata lain orang dapat menggunakan Mig33 tanpa harus on line melewati PC (Komputer) atau ke warnet yang sebelumnya selama ini dilakukan. Karena ada beberapa kelebihan jika seseorang melakukan chatting Mig33 melalui ponsel, setidaknya orang tersebut jika melakukan chatting dengan waktu yang lama tidak perlu repot-repot datang ke warnet, atau menghadapi monitor komputer yang besar yang memungkinkan memberikan pengaruh radiasi, cukup hanya dengan memandang layar ponsel kesayangannya. Disamping layar ponsel tersebut yang ukurannya jauh lebih kecil daripada monitor komputer, chatting juga dapat dilakukan pada situasi, kondisi dan waktu kapan saja, tergantung si pengguna.
Kelebihan lain yang dapat menyedot pengguna Mig33 melalui ponsel, tarif yang dikenakan dapat relatif lebih murah jika menggunakan provider seluler yang tepat jika dibandingkan on line melewati PC atau warnet. Sehingga adalah hal yang wajar jika seorang pengguna Mig33 lewat ponsel bisa bertahan berjam-jam berfokus pada ponselnya hanya untuk chatting, tergantung seberapa lamanya baterei ponsel tersebut bisa bertahan.
Mengacu pada fenomena tersebut, ternyata pengguna Mig33 hingga kini telah memiliki angka yang tidak sedikit. Dari pelajar, mahasiswa, bahkan hingga orangtua kini telah menggunakan Mig33 dalam melakukan chatting. Bahkan dari yang sebelumnya belum mengenal dunia chatting ataupun tidak hobi chatting bisa berubah drastis menjadi penggemar chatting (Mig33).
Memang fasilitas Mig33 (Chatting lewat ponsel) merupakan salah satu bukti teknologi yang semakin mempermudah seseorang dalam berkomunikasi. Yang sebelumnya antar waktu, ruang, maupun kondisi yang tidak memungkinkan untuk melakukan komunikasi (chatting), kini dengan Mig33 semua menjadi mungkin. Hanya tergantung pada ponsel dengan fasilitas ang memadai, pulsa yang cukup, baterei yang cukup, dan tentunya program Mig33 itu sendiri.
Namun apakah Mig33 telah menunjukkan sebuah kesempurnaan orang dalam berkomunikasi? Dengan sifatnya yang dapat dilakukan pada kondisi, situasi, ruang, dan waktu yang kapan saja tergantung si pengguna, memberikan gambaran komunikasi dapat dilakukan dengan bebas. Seorang murid dapat melakukan chatting dengan ponsel kesayangannya, ketika bosan dengan pelajaran yang diberikan oleh sang guru. Mahasiswa dapat menjelajahi dunia maya kapan saja, ketika mulai ingin melakukan refreshing pikiran daripada selalu berfokus pada dosen. Di waktu senggangnya seseorang dapat meluangkan waktunya dengan on line melalui Mig33 pada ponselnya.
Fenomena-fenomena tersebut menunjukkan bukti bahwa Mig33 memberikan kebebasan dalam berkomunikasi. Namun semua tahu, apabila bebas jika tidak ada kontrol bisa berakibat tak terkendali. Kondisi paling parah dimana orang tersebut seharian dapat saja hanya terpancang perhatiannya pada ponselnya, terfokus pada dunia maya, lupa pada kondisi nyata tempat dia berada. Sudah tidak terpikirkan dengan keadaan pulsa yang dimiliki, karena tarif yang dikenakan juga relatif murah. Bahkan jika hal tersebut terhalang oleh keadaan baterei ponsel yang tidak memadai, orang tersebut bisa membawa charger ponsel dan siap mencari sumber listrik jika memang diperlukan.
Bias konsenterasi seseorang pengguna Mig33 antara dunia maya dengan dunia sesungguhnya mulai sulit jika dihadapkan dengan kondisi seperti itu. Seakan-akan dunia pada Mig33 lebih menarik dan nyaman dihadapi daripada kondisi yang sebenarnya yang sedang dia hadapi.
Dalam perkembangannya sekarang, dunia Mig33 yang selama ini telah terbentuk komunitas / group / kelompok kecil, telah diaplikasikan ke dalam dunia nyata. Mereka terkadang melakukan pertemuan nyata untuk sekedar silaturahmi atau berkumpul. Namun tetap saja, setelahnya, interaksi tersebut tetap berlanjut pada ponsel mereka masing-masing. Seakan-akan tidak ada yang membatasi mereka dalam melakukan komunikasi.
Jika sudah dihadapkan pada teknologi komunikasi semacam ini, bagaimana kah seseorang harus bersikap? Apakah benar, teknologi komunikasi memberikan gaya hidup yang praktis dalam hal berkomunikasi, atau malah memberikan suatu hal yang buruk di masa datang? Apakah memang dibutuhkan sebuah pengawasan yang harus dilakuakan dalam menghadapi perkembangan teknologi?

Wanita dalam Iklan

Produk yang diperuntukkan untuk perempuan dan menampilkan sosok perempuan kini cukup banyak. Mulai dari produk kecantikan, ramuan tradisional, alat rumah tangga sampai kendaraan bermotor tidak pernah kosong dari keterlibatan perempuan. Dengan memakai perempuan, diasumsikan akan menarik minat para pembeli yang ingin menyalurkan hasrat konsumtifnya. Dan ini terbukti, berbagai produk industri masa kini selalu dilemparkan ke publik melalui bujuk rayu iklan dengan perempuan sebagai model utamanya.
Meskipun pada awalnya iklan lebih berfungsi sebagai penyampai pesan dari nilai sebuah produk dengan harapan supaya dibeli oleh orang, maka lambat laun iklan memiliki peran yang lain, yaitu menciptakan citra, harapan, prestis, status, dan impian. Sementara penampilan perempuan yang dikemas dalam balutan visual yang kreatif, indah, dan kental nuansa humornya lebih sebagai pembawa pesan dengan daya tarik yang diupayakan bisa merengkuh keduanya. Hal ini memberi kesan bahwa dunia periklanan, baik lewat media cetak, elektronik, maupun media luar ruang selalu dimarakkan oleh kaum perempuan.
Media iklan menilai bahwa perempuan dianggap lebih efektif dalam upaya merebut perhatian dari khalayak sasaran. Maksud dari nilai kefektifan perempuan adalah terhadap nilai jual produk terhadap ketertarikan audiens pada iklan itu sendiri adalah karena keindahannya. Dapat diamati dengan sekilas pada iklan-iklan yang ada pada media televisi saja, untuk iklan sebuah produk yang bobot kehadiran tokohnya sama, antara laki-laki dan perempuan, biasanya perempuanlah yang dipilih. Antara lain juga karena keindahannya, perempuan sering menjadi inspirasi, termasuk dalam melahirkan sebuah produk. Alhasil, atribut, atau sikap yang mencirikan kaum hawa sebagai potensi melekat yang dimiliki perempuan secara kodrati, kini justru kian menjadi aset dalam serangkaian produksi dan pasar industri kebudayaan bernama iklan.

Permasalahan Representasi Perempuan dalam Iklan
Akan para media pengiklan kemudian tidak peduli bahwa apa yang mereka lakukan sesungguhnya adalah sebuah proses dehumanisasi dalam diri perempuan yang pada akhirnya akan benar-benar merendahkan martabat perempuan. Tetapi, memang demikian itulah yang terjadi pada diri perempuan. Nasib mereka dalam iklan barangkali akan selalu sejalan dengan nasibnya dalam masyarakat. Semakin masyarakat hipokrit dan patriarkis, maka semakin kuat pula perempuan menjadi simbol represi dan pada gilirannya perempuan akan semakin diburu oleh industri periklanan. Iklan pun menunjukkan betapa nilai secara patriarki masih terlihat sampai sekarang. Dapat diamati secara sekilas, apa yang ditampilkan dalam iklan yang dikhususkan bagi perempuan adalah kiat-kiat melangsungkan kehidupan dalam budaya patriarkhis. Yaitu kultur yang menempatkan semua aturan, otoritas dan subyek kepada laki-laki, sedangkan perempuan sekadar objek
Dari hal tersebut, perempuan pun menjadi makhluk yang kesannya hanya bisa mengurusi masalah rumah tangga. Hal ini tampak dari iklan perempuan mencuci, memasak, dan lain-lain. Contoh lain di luar rumah tangga yang tampak adalah dengan adanya iklan jamu "Rapet Wangi". Dalam iklan tersebut menganjurkan perempuan selalu tampil prima dan memuaskan suaminya. Masih banyak contoh-contoh iklan dengan model wanita melalui trik-trik iklan yang memang dirancang untuk memancing imajinasi, misalnya kontur tubuh (iklan peralatan aerobik), kemilau kulit (iklan bedak atau sabun mandi), kemilau rambut (iklan sampo), rekahan bibir (iklan lipstik), hubungan suami-istri (iklan obat kuat).
Dengan demikian, konstruksi tentang perempuan yang ditampilkan dalam iklan di layar kaca selalu menampakkan peran yang multidimensi. Ia tidak mungkin dibaca semata-mata sebagai korban patriarki. Dalam hubungannya dengan berbagai dimensi yang lain, peran-peran yang dimainkan perempuan dalam dunia iklan tidak akan lepas dari persentuhannya dengan wilayah yang lain, yaitu modal, penonton, dan regulasi publik dari negara dan agama.
Citra perempuan sekarang mungkin tak jauh dari apa yang kerap muncul pada iklan, yaitu: tubuh langsing, rambut panjang dan lurus, wajah putih mulus, dan bola mata yang indah berkat lensa kontak berwarna ungu atau hijau. Syukurlah tak selamanya yang cantik adalah seperti itu. Sejarah manusia mencatat, definisi cantik terus-menerus berubah. Di Eropa pada abad pertengahan kecantikan perempuan berkait erat dengan fertilitasnya, dengan kemampuan reproduksinya. Pada abad ke-15 sampai ke-17, perempuan cantik dan seksi adalah mereka yang punya perut dan panggul yang besar serta dada yang montok, yakni bagian tubuh yang berkait dengan fungsi reproduksi.
Maka ketika banyak kalangan yang memaknai cantik sebagai sesuatu yang sulit didefinisikan, maka iklan membuat kategori cantik menjadi sangat terukur. Cantik adalah putih, langsing, rambut hitam tanpa ketombe, dan selalu berbau wangi. Bukankah kriteria cantik seperti itu sesuai dengan produk yang diiklankan?
Cantik hasil konstruksi ini semakin menemukan tempat ketika hampir seluruh media massa menampilkan iklan produk-produk yang menunjang dan/atau sangat menentukan kecantikan seseorang. Bahkan, salah satu iklan produk pelangsing tubuh dengan berani menyimpulkan bahwa hubungan suami istri, atau paling tidak, sudut pandang dan perhatian seorang suami terhadap istrinya akan luntur ketika diketahui bahwa berat badan istrinya mulai bertambah dengan tonjolan-tonjolan daging berlemak di sana-sini.
Memang mula-mula citra adalah sebuah elemen dari proses representasi atas kenyataan dengan pengembangan bentuk-bentuk bahasa yang mengandung acuan faktual yang menghasilkan makna baru. Sebuah peristiwa adalah sebuah realitas yang tersusun oleh fakta-fakta. Namun, ketika peristiwa itu dilaporkan oleh surat kabar atau televisi dan kemudian dikonsumsi serta diinterpretasi ulang oleh konsumen, maka kemudian muncul berbagai citra yang lain, secara beruntun, saling terkait atau saling lepas, membentuk potongan, serpihan, serakan dan hubungan makna yang kian meluas dan rumit dan dari jaringan makna yang kian rumit itu kemudian terbentuk sebuah "realitas baru" yang kadang mengandung acuan yang jauh lebih luas ketimbang fakta semula. Citra yang diciptakan kepada perempuan didalam iklan lebih banyak memposisikan perempuan sebagai obyek yang dapat dibeli dan digunakan oleh konsumen.
Dalam konteks citra perempuan dalam iklan, budaya gender dibangun dengan memanipulasi tubuh perempuan sebagai tanda dari simbol-simbol yang secara stereotip melekat dalam diri perempuan; seperti keanggunan, kelembutan, kelincahan, keibuan, kemanjaan, dan lain-lain. Iklan berupaya merepresentasikan kenyataan masyarakat melalui tanda tertentu, sehingga menimbulkan impresi dalam benak konsumen bahwa citra produk yang ditampilkan adalah bagian dari kesadaran budaya, meski yang terjadi hanya ilusi belaka. Sebab, seringkali iklan menghadirkan gambaran palsu atau pseudo-realitas (Widyatama, 2006:19).
Setidaknya ada lima citra di mana perempuan dijadikan obyek iklan. Yaitu sebagai citra pigura, pilar, peraduan, pinggan dan pergaulan.
Dalam citra pigura, perempuan digambarkan sebagai makhluk yang harus memikat. Untuk itu, ia harus menonjolkan ciri biologis tertentu, seperti buah dada, pinggul dan seterusnya, maupun ciri kewanitaan yang dibentuk budaya, seperti rambut panjang, betis ramping mulus, dan sebagainya. Contohnya dalam iklan alat kecantikan atau pakaian.
Sedangkan pada citra pilar, perempuan digambarkan sebagai pengurus utama keluarga. Pengertian budaya yang dikandungnya adalah bahwa lelaki dan perempuan itu sederajat, tapi kodratnya berbeda. Sehingga wilayah kegiatan dan tanggung jawabnya berbeda pula. Contoh penggambaran perempuan bercitra pilar ini bisa kita temukan pada iklan AQUA, "Melindungi Anda Sekeluarga".
Citra peraduan menganggap perempuan adalah obyek pemuasan laki-laki, khususnya pemuasan seksual. Sehingga seluruh kecantikan perempuan, baik kecantikan alamiah maupun buatan (melalui komestik) disediakan untuk dikonsumsi laki-laki melalui kegiatan komsumtif misalnya, rabaan lembut atas rambut yang telah dicuci dengan sampo tertentu dan lain sebagainya.
Untuk citra pinggan, digambarkan bahwa betapapun tingginya perempuan dalam memperoleh gelar pendidikan dan sebesar apapun penghasilannya, kewajibannya adalah di dapur. Tetapi berkat teknologi sekarang, kegiatan di dapur itu tidak lagi berat dan membosankan. Sebab telah ada kompor gas, mesin cuci, bahan masakan instan dan lain sebagainya. Dengan cara ini, iklan menawarkan produk tertentu untuk digunakan para istri. Setelah meyakinkan bahwa kegiatan di dapur tidak harus menyiksa, tetapi justru bisa menyenangkan, lebih jauh diingatkan bahwa para suami lebih suka masakan istri. Contohnya adalah iklan produk masak bumbu dari Indofood.
Terakhir dalam citra pergaulan, perempuan digambarkan sebagai makhluk yang dipenuhi kekhawatiran tidak tampil memikat dan menawan, tidak presentable atau acceptable. Untuk dapat diterima, perempuan perlu physically presentable. Bentuk dan lekuk tubuh, aksentuasi bagian-bagian tertentu dengan menggunakan komestik dan aksesoris yang selaras sehingga seorang perempuan bisa anggun menawan, mengundang pesona dan unggah-ungguh fisik perlu dijaga sedemikian rupa agar menarik dan tidak membawa implikasi rendah diri tertentu diarena pergaulan luas. Contoh-contoh tersebut menunjukan bahwa mitos perempuan telah dimanfaatkan bersamaan dengan meningkatnya profesionalisme dikalangan pengiklan.

Menilik Dari segi Agama
Fenomena iklan di media cetak/elektronik yang menampilkan kemolekan tubuh wanita terkesan eksploitasi, dan itu dapat dinikmati noleh masyarakat umum setiap detiknya di berbagsi media. Parahnya, masyarakat tidak merasa tabu melihat pemandangan ini.
Justru ada sinyalemen, kalau acara televisi sesuai norma agama, semua perempuan memakai jilbab rapat, pasti tidak laku, orang akan bosan menontonnya, dan perusahaan televisi lama-lama akan bangkrut total.
Keadaan seperti ini pasti menimbulkan pro dan kontra, sebut saja ada dua kelompok. Kelompok pertama didukung oleh mayoritas umat Islam, walaupun dengan perspektif yang berbeda. Kelompok kedua didukung oleh kekuatan super power dunia, kapitalis-neoliberalis-sekuler. Mereka adalah kaum sekuler yang mengedepankan rasionalitas, liberitas, materialitas, hedonitas, dan seksualitas. Kekuatan super power ini sudah lama melakukan ekspansi moral, ekonomi, dan politik yang bebas tak beretika, jauh dari tuntunan agama.
Dengan begitu, dapat ditarik garis lurus, bahwa semua instrument tentang iklan dengan objek wanita yang dinilai agama berlebihan, mencerminkan perilaku Barat yang dominatif dan hegemonik yang tidak pernah terikat moral agama. Agama yang mereka anut sudah tidak mampu memayungi aspek publik, pascadominasi gereja waktu dulu yang sentralis, hegemonik, dan dominatif
Berbicara soal moral agama, hal tersebutlah yang menjadi dasar argumentasi umat Islam salah satu contohnya melarang terbitnya majalah Playboy pada saat itu. Ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah misalnya, kalau merujuk pada Alquran, Hadis, dan khazanah klasik (kitab kuning) jelas bahwa aurat (sesuatu yang harus ditutup rapat), baik laki-laki maupun perempuan, tidak boleh ditampakkan ke luar. Aurat harus dijaga, karena jika dibuka akan mengakibatkan fitnah.
Namun jika berbicara bagaimana strategi atau pendekatan yang harus digunakan untuk sosialisasi atau penegakan moral agama ini, masing-masing mempunyai cara dan metode sendiri. Pada dasarnya semua agama sepakat bahwa hal-hal yang berbau sensual dan seksual harus dilarang peredarannya, karena menghancurkan moralitas manusia.

Solusi Untuk Menghindari Makna Negatif
Banyak iklan yang cenderung penuh prasangka; menampilkan perempuan secara stereotip sebagai sosok lemah, sub-ordinasi terhadap laki-laki, terbatas, lebih banyak diperlihatkan sisi fisik semata, serta cenderung direpresentasikan mengerjakan pekerjaan domestik (Widyatama, 2006: 28).
Okky Asokawati, mantan peragawati kondang mengakui, perempuan dan iklan memang tidak bisa dipisahkan. Ia juga tak menyangsikan perempuan memiliki kekuatan dalam membantu menjual produk yang diiklankan. Karena itulah, keberadaan perempuan dalam iklan selalu menyertai produk paling bersahaja hingga sedan mewah.
Memang merupakan sebuah simbiosis mutualisme jika dilihat antara Media Iklan dengan para perempuan yang menjadi endoser iklan. Di sisi Media Iklan, mereka butuh model-model perempuan yang dibilang menarik di mata public dan memiliki "Daya Jual" lebih dalam peningkatan jual produk di pasar.
Di sisi lain, para perempuan tersebut juga membutuhkan penghasilan secara mandiri tanpa bergantung pada siapapun(Tak terkecuali yang berkeluarga). Merupakan sebuah karunia dari Tuhan jika seorang perempuan diberikan penampilan secara menarik. Dan dengan modal tersebut, tanpa harus lebih telah dapat menciptakan suatu usaha. Jika dengan kaeadaan seperti itu, wanita nama yang tidak tertarik pada dunia iklan dengan penghasilan yang tidak sedikit?
Melihat fenomena tersebut, persepsi yang salah dan anggapan yang merendahkan martabat perempuan terkait dengan masalah perempuan sebagai obyek iklan bisa diubah. Artinya, dengan kehadiran begitu banyak perempuan yang berperan dalam proses pembuatan iklan sejak dari ide, produksi sampai penayangannya, diharapkan akan dapat menciptakan suasana aman dari usaha-usaha murahan berselera rendah dalam bentuk rangsangan tubuh.
Disamping itu, pihak perempuan sebisanya untuk melakukan seleksi dalam pemilihan konsep dari produk iklan, guna menjaga image (kesan) perempuan secara general. Dari pihak media iklan sendiri, sebaiknya dapat melakukan kreativitas yang masih sejalan dengan norma-norma dimana produk / iklan tersebut ditayangkan. Begitu juga pada masyarakat sendiri, lebih pintar-pintar menilai iklan yang pantas di media.
Jika semua usaha itu terlaksana, diharapkan dapat merubah pola pikir dan anggapan audiens / masyarakat nilai ketertarikan sebuah iklan dari berbagi sisi secara lebih postif. Namun memang sulit untuk direalisasikan secara total, jika uang dan bisnis yang berbicara. Itulah kenyataan yang terjadi pada industri iklan di Indonesia

Menilik Tayangan Empat Mata

"Empat Mata" merupakan salah satu acara talkshow dengan perspektif komedi yang telah ditayangkan di sebuah stasiun televisi swasta selama kurang lebih setengah tahun ini. Yang mengejutkan, acara "Empat Mata" hanya dalam beberapa pekan, bahkan hanya dalam beberapa episode, telah memliki penggemar yang sangat banyak. Kedudukan rating yang dimiliki serial "Empat Mata" sampai saat ini pun masih dibilang tinggi dan stabil. Semakin lama keberadaan "Empat Mata" ini, semakin banyak juga pemirsanya.
Padahal jika coba kita telisik lebih jauh lagi, sebenarnya acara empat mata terkesan monoton. "Dagelan" yang ditawarkan pun sebenarnya hanya itu-itu saja. Bahkan tak jarang lawakannya cenderung lebih ke "pelecehan" fisik atau ke-"Ndesoan" Tukul sebagai presenter yang menjadi objek empuk untuk di"hina". Lawakan-lawakan seperti itu biasanya sangat digemari oleh masyarakat dengan kondisi pendidikan dan ekonomi yang rendah. Akan tetapi pada kenyataannya, empat mata bisa masuk ke semua kalangan masyarakat.
Acara "Empat Mata" dengan host Tukul Arwana telah memberikan suatu alternatif hiburan yang ternyata terbukti sangat mengakar di benak pemirsa televisi. Memang, ada sebuah keunikan tersendiri dari acara yang mungkin pada awalnya memiliki segmentasi pasar untuk masyarakat kelas menengah ke bawah. Jika beberapa acara televisi lainnya justru mengumbar kemewahan, kecantikan para personilnya, impian yang tidak realistis dan lain sebagainya, di acara ini justru kita menemukan sebaliknya. Yang ada hanyalah seorang presenter yang "Ndeso", jelek, dan cukup realistis karena bintang tamunya tak hanya artis-artis papan atas saja, tapi juga orang-orang sub-urban yang notabene kebanyakan adalah masyarakat menengah ke bawah atau bahkan benar-benar masyarakat lapis bawah. Bahkan saat ini, justru para selebriti itu akan terasa bangga jika mereka tampil di acara empat mata
Dan keunikan acara ini (yang juga sekaligus merupakan trade-on dari acara ini) adalah dimana Tukul Arwana sebagai presenter yang juga bisa disebut sebagai "yang punya acara" justru menjadi obyek tetap yang empuk untuk dicela dan dihina (meskipun semua itu berlabel "just kidding".
Jargon "Ndeso" dan "Kembali Ke Laptop"-nya bahkan tengah mewabah di masyarakat dan pada akhirnya memiliki ingatan yang kuat di benak masyarakat. selain ringan, gaya itu diangggap paling bisa "menaikkan" status sosial kaum sub-urban yang pada umumnya sedikit minder, atau tidak percaya diri. Pada saat ini, mungkin orang takkan minder lagi jika di cap "Ndeso".
Pro – Kontra acara "Empat Mata"
Jika dipandang dari yang dijabarkan di atas, memang fenomena acara "Empat Mata" menimbulkan banyak dampak yang bisa dibilang hal-hal yang positif.. Jika menelusuri dunia maya (internet), banyak sekali situs-situs, blog, maillist, ataupun hanya sekedar komentar-komentar tentang acara "Empat Mata", entah itu pro atau kontra.
Dalam hal pro akan "Empat Mata", bisa dilihat dari adanya Friendster dari Tukul Arwana sebagai host dari "Empat Mata". Banyak sekali sebutan-sebutan yang ada, entah "Tukulia", "Tukulers", dsb. Saking simpatinya dengan Tukul di "Empat Mata". Banyak penilaian-penilaian positif dan dukungan terhadap eksistensi acara "Empat Mata" dengan host Tukul Arwana.
Namun, jika ditelusuri lebih jauh lagi, dari berbagai sumber media menyatakan banyak hal negatif juga yang terdapat dalam acara "Empat Mata". Pemakaian bahasa yang digunakan oleh Tukul selama ini memang terkesan kasar. Seperti : "Tak sobek-sobek mulutmu!" atau "Katrok!" sering diucapkan. Jika setiap individu dari pemirsa yang menyaksikan diminta untuk menilai, dapat dipastikan memang ucapan seperti itu memang kasar. Namun, kenapa masih banyak yang menggemarinya? Bahkan semakin banyak.
Hal ini menunjukkan pemirsa, dalam konteks ini adalah masyarakat Indonesia menggemari olok-olokan khas dari acara "Empat Mata". Bagaimana jika apa yang digemari masyarakat Indonesia tersebut semakin lama menjamur dan mengakar?
Dalam tulisan Paulus Mujiran, Pendidikan Anti-Tukulisme (Media Indonesia, 1 Februari 2007), mengajak untuk merefleksikan satu jenis talkshow yang hari-hari ini menyedot perhatian khalayak: Empat Mata. Melalui kacamata pendidikan, tulisan Mujiran berhenti pada kesimpulan bahwa ada kekeliruan dalam pendidikan di negeri ini sehingga masyarakat begitu menggemari acara "olok-olokan", lontaran penuh seronok, dan tertawaan yang mengeksploitasi fisik ala Tukul Arwana.Mujiran menyebut penggemar talkshow yang dibawakan secara ngawur oleh Tukul tersebut sebagai Tukulisme. Tukulisme inilah yang dipandang Mujiran sebagai cermin dari buah pendidikan yang anti-pluralis, yang mengesampingkan penghargaan terhadap keragaman, baik agama, status sosial, cara hidup dan sebagainya. Satu jenis pendidikan yang memang masih sangat jarang kita dengar, apalagi kita temui, dalam masyarakat yang serba multi; etnis, agama, ras, bahkan kelas sosial. Olok-olokan seperti wong ndeso, katrok, kutu kupret dan sederet sumpah serapah lainnya menegaskan bekerjanya "kekerasan psikologis" terhadap mereka yang lekat dengan istilah-istilah tersebut.
Tidak hanya ucapan saja, beberapa sikap Tukul yang sering diperlihatkan di "Empat Mata" seperti meminta cium pipi dari setiap bintang tamu wanita yang hadir, lalu bergembira setelah mendapatkannya, sebenarnya bisa dinilai kurang begitu etis jika ditayangkan sebagai acara talkshow berpendidikan dan berkualitas.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), lembaga negara yang bersifat independen, pernah melayangkan surat peringatan bernomor 480/K/KPI/10/06 bertanggal 13 Oktober 2006. dalam peringatannya berisi bahwa sejumlah tayangan Empat Mata memuat lelucon cabul dan merendahkan perempuan sebagai objek seks. Contoh, dialog cabul Tukul dengan Taffani Dewi pada 6 September 2006 dalam episode "Berani Tampil Polos". Begitu juga dialog dengan Inul dalam episode "Bosku Cantik" pada 13 September 2006. Termasuk, dipertontonkannya gambar-gambar berkategori "panas", karena kamera menyorot bagian-bagian tubuh bintang tamu wanita di "daerah" yang tidak semestinya.
Publik juga punya catatan serupa. Trade mark Tukul yang suka mencium pipi dan mencolak-colek tamu wanitanya sungguh kebablasan. Tak heran, seorang siswi SMP di kawasan Waru - Sidoarjo menilai penampilan Tukul di "Empat Mata" jorok.


Keberadaan acara "Empat Mata" memang bisa dibilang sebuah dilema. Dapat disebutkan seperti itu, dikarenakan memang banyak hal-hal yang harus dikaji dan dikoreksi lebih jauh lagi terhadap isi dari "Empat Mata" sendiri. Namun pada kenyataannya, masyarakat sendiri menggemari hal-hal yang seperti itu. Semakin sulit untuk memposisikan diri jika bersikap sebagai sebuah media. Harus memperhatikan kualitas pendidikan dan pesan dalam acara, atau mengikuti kemauan audiens?
Jika mengikuti kemauan audiens, sudah jelas mereka menanggapi dengan senang hati. Namun, jika diperhatikan dari segi kualitas pendidikan ataupun pesan, apakah masyarakat dapat langsung menerima?
Kembali lagi kepada masyarakat Indonesia sendiri tentunya. Norma-norma baru seperti ini memang terbentuk setelah adanya tayangan "Empat Mata". Akan tetapi, siapakah yang dapat mengatur dan mengendalikan norma tersebut? Apakah masyarakat sendiri, atau serial "Empat Mata"?