Senin, 21 Juli 2008

Pemilu 2009?

Parpol, sebuah ruang publik
Pada prisipnya parpol lahir sebagai wujud partisipasi publik dalam dunia politik. Berpegang pada prinsip tersebut, parpol mempunyai fungsi sebagai ruang publik. Dalam ruang publik itu semua orang mempunyai peluang yang sama untuk berpendapat. Di sana tidak ada usaha untuk saling mendominasi dan memaksakan kehendak. Kebebasan berpendapat justru dijunjung tinggi sebagai hal yang mencirikan publisitas parpol. Sebab dari kebebasan berpendapat itulah akan lahir komunikasi yang menandai hidupnya parpol sebagai sebuah ruang publik.
Dari komunikasi politis itu akan memiliki makna masing-masing yang intinya memperjuangkan kesejahteraan publik, itulah parpol yang menghargai independensi setiap orang. Parpol yang membangun komunikasi yang baik dengan masyarakat dan pemerintah tentu akan berperan sebagai media yang sanggup menghubungkan rakyat dan pemerintah.
Melihat dalam kehidupan perpolitikan di Indonesia kini, setiap masyarakat cenderung dapat menyampaikan aspirasinya lebih bebas, ketimbang pada masa sebelum terjadinya reformasi. Sehingga kecenderungan tersebut memberikan potensi pada masyarakat untuk membentuk sebuah ruang publik tersendiri. Nampaknya masyarakat ruang publik didefinisikan sebagai semua wilayah kehidupan sosial yang memungkinkan masyarakat untuk membentuk opini publik, sehingga akan berdampak realitas perpolitikan di Indonesia.
Seperti yang dijelaskan di awal, semua warga masyarakat pada prinsipnya boleh memasuki dunia seperti itu. Ketika memasuki dunia tersebut, setiap masyarakat yang terjun adalah orang-orang privat, bukan orang yang menyandang kepentingan bisnis atau profesional, bukan juga pejabat atau politikus. Tetapi percakapan mereka membentuk suatu forum pubik yang dapat dipandang.
Sebab bukan soal-soal pribadi mereka yang diperbincangkan melainkan soal-soal tentang kepentingan umum yang mereka percakapkan tanpa paksaan. Mereka memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk berbicara dan mengajukan kritikan ataupun solusi. Dalam keadaan seperti inilah mereka berlaku sebagai publik. Sebab mereka memiliki jaminan untuk berkumpul dan berserikat secara bebas dan menyatakan serta mempublikkan opini-opini mereka yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
Keadaan tersebut didukung lebih oleh kesediaan fasilitas dan kemajuan teknologi. Hanya dengan menghadap sebuah layar monitor, seseorang telah dapat membuka maupun membuat forum yang membahas tentang perpolitikan lewat dunia maya. Dalam realitanya sendiri, hanya dengan berkumpul beberapa orang saja, membawa sebuah tema pembicaraan dalam hal perpolitikan, maka dengan begitu akan melahirkan berbagai opini, dan dapat dibawa ke luar, atau publik.



Banyak Parpol Baru pada Pemilu Presiden 2009
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah melantik anggota Komisi Pemilihan Umum periode 2007–2012 pada Bulan Oktober lalu berdasarkan Keppres No 101/2007. Pada Antara News Oktober lalu pula, diberitakan bahwa Presiden R.I. Susilo Bambang Yudhoyono mempersilakan siapa saja warga negara Indonesia yang ingin maju menjadi Calon Presiden pada Pemilu Presiden 2009. Setelah pemberitaan tersebut, dicoba ditelusuri pada http://www.detiknews.com/, hingga pada 1 Oktober 2007 lalu telah ada 73 parpol baru yang mendaftar untuk mengikuti Pemilu 2009.
Kini parpol menjadi topik yang hangat diperbincangkan. Berbagai rasionalisasi dilontarkan, mengapa hal tersebut yang paling sering dibahas, namun salah satu yang menarik dalam pembahasannya adalah pernyataan bahwa parpol merupakan ‘kendaran’ politik. Yang dimaksudkan adalah dengan parpol, maka seorang seorang politisi dapat melaju menuju kursi kepemimpinan. Bagi masyarakat luas, ada satu ungkapan klasik yang menggambarkan hubungan antara politisi dan parpol, "politisi tanpa parpol sama dengan menghadapi pintu tanpa kunci".
Tentu semua orang bisa membayangkan bagaimana seseorang bisa melewati sebuah pintu yang terkunci, sedangkan dia sendiri tidak memiliki kunci pintu tersebut, percuma, tidak bisa dilewati. Itu kata yang sepadan untuk membahasakan menghadapi pintu tanpa kunci. Demikian juga nasib politisi di luar parpol. Dalam hal ini parpol merupakan hal pokok bagi politisi, guna membawa misinya yang merupakan perwujudan dari apa yang diwakilkannya.
Menjelang Pemilu 2009, sejumlah daerah di Indonesia, baik tahun ini maupun tahun depan, melangsungkan pesta politik berupa pemilihan kepala daerah secara langsung, meskipun pemilihan langsung kepala daerah merupakan hal baru bagi rakyat Indonesia. Setelah itu, akan terlahir sebuah opini baru dalam publik, akan terdapat adanya independensi bagi figur publik tertentu untuk mencalonkan diri dalam pilkada tanpa ’menumpang’ parpol tertentu. Bahwa politisi tanpa parpol ibarat pintu tanpa kunci sepertinya mulai tidak mutlak terjadi dengan dibakukannya calon independen dalam pilkada.
Apakah kenyataan ini pantas dilihat sebagai tantangan bagi parpol? Calon independen akan menjadi tantangan bagi parpol ketika parpol telah berubah fungsi dari ruang publik ke ruang privat. Bila yang terjadi demikian, fungsi partai sebagai ruang publik bergeser menjadi ruang privat, maka jangan heran sebab cepat atau lambat simpati rakyat justru lebih fokus pada calon independen yang cerdas dan tak bercacat. Tetapi apabila parpol tetap eksis sebagai ruang publik dan tetap berkiprah mewujudkan fungsinya sebagai public sphere maka simpati publik terhadapnya tak mungkin berkurang dengan hadirnya calon independen.
Simpati rakyat pada parpol yang tetap tinggi dapat berarti rakyat makin rasional dalam menilai "produk" parpol (politisi) pada "Pesta Demokrasi Rakyat" (Pemilu). Sebaliknya, rakyat yang tetap setia dengan parpol tertentu, hal itu bisa berarti rakyat masih memegang prinsip-prinsip tradisional kepartaian.
Banyak munculnya parpol baru pastilah memiliki banyak faktor. Banyak argumen dan pendapat dari pubik mengenai kemunculan partai-partai baru tersebut.
Dikutip dari, mayapadaprana@yahoogroups.com
Peluang dan tantangan Partai Politik baru menuju Pemilu 2009,
"Meskipun Pemilu 2009 masih dua tahun lagi, telah terjadi euforia politik mendirikan partai baru. Secara tipologis ada beberapa hal yang menjadi sebab munculnya partai-partai baru tersebut. Pertama, partai-partai baru yang muncul dilatarbelakangi oleh keinginan membangun alat politik baru karena yang lama sudah tidak memadai. Kedua partai-partai baru yang muncul karena pertentangan/konflik internal partai-partai lama/partai besar. Ketiga, partai baru hasil penggabungan partai-partai kecil yang dulunya memperoleh suara kecil dan terancam oleh mekanisme verifikasi Depkeham dan KPU, maupun electoral threshold, misalnya Partai Kristen Bersatu. Keempat, partai-partai baru yang digagas oleh aktivis gerakan rakyat, gerakan mahasiswa, LSM, serikat buruh, serikat tani, atau pekerja seni."
Komentarnya mengenai beberapa analisa dari munculnya berbagai partai baru di pemilu mendatang tersebut memang cukup logis dan menimbulkan tanggapan tersendiri oleh banyak pihak.
Opini tentang latarbelakang munculnya partai baru dikarenakan "yang sudah lama tidak memadai" itu dapat ditemukan persamaan atas dasar dari Lingkaran Survei Indonesia. Dalam survey yang dilakukannya, Dituliskan bahwa menjelang tiga tahun sejak SBY- JK dilantik menjadi presiden RI, terjadi perubahan public mood atau persepsi publik yang sangat signifikan. Survei yang dilakukan dari tanggal 9 hingga 14 September 2007, diadakan di seluruh Indonesia, di tiga puluh tiga propinsi, ternyata memberikan hasil sebagai berikut:
Ketika dilantik Oktober 2004, SBY, presiden pertama yang dipilih secara langsung, memperoleh tingkat kepuasan publik sangat tinggi (di atas 80%). Menjelang tiga tahun kemudian (September 2007), tingkat kepuasaan itu jatuh pada titik terendah 35.3%. Dalam waktu hampir tiga tahun, tingkat kepuasan atas SBY merosot sekitar 45%. Lebih dari itu, sudah terjadi apa yang disebut "mental switch" dalam politik. Lebih banyak publik yang mulai mencari figur baru untuk presiden 2009. Hanya di bawah 30% pemilih yang menginginkan SBY kembali menjadi presiden.
Didukung lagi dengan hasil survey yang dilakukan oleh PusDeHAM (Pusat Studi Demokrasi dan HAM) yang dilakukan pada periode bulan Agustus hingga September di 336 provinsi di Indonesia dengan responden sejumlah 3.527 orang. Ternyata juga memberikan hasil yang tidak jauh beda, hanya 33 persen responden yang menyatakan puas terhadap kinerja SBY-Kalla. Sebanyak 67 persen sisanya mengatakan tidak puas. Tingkat kepuasan tersebut menurun tajam dibandingkan pada awal pemerintahan yang mencapai 80 persen
Ketidakpuasan publik terhadap kinerja pemerintah tecermin, antara lain, di bidang ekonomi. Setelah 18 bulan memerintah, pemerintahan SBY menghadapi situasi yang tidak menguntungkan. Penyebabnya, mayoritas publik sedang kecewa dengan kondisi ekonomi. Mereka mudah sekali marah, bereaksi, dan protes. Di era seperti ini sulit sekali bagi pemerintahan SBY untuk mengambil kebijakan yang kontroversial seperti pemaafan Suharto, ataupun yang tidak populis seperti kenaikan tarif dasar listrik dan revisi UU Tenaga Kerja yang radikal. Mayoritas publik yang sedang kecewa mudah sekali tersulut dan mendukung oposisi
Kekecewaan masyarakat tidak berhenti sampai di situ saja, hal lain yang berpengaruh pada kekecewaan yang terus meningkat adalah disebabkannya harga bahan bakar minyak (BBM) dan sembilan bahan pokok (sembako) terus melonjak. Selain itu, pemerintah dinilai gagal mengentas kemiskinan dan mengurangi pengangguran.
Masyarakat juga kecewa terhadap kinerja pemerintah dalam bidang pertanian. Tidak fokusnya program kerja pemerintah dalam bidang ekonomi berpengaruh terhadap menurunnya popularitas SBY dalam hal electoral. Pasca kenaikan harga BBM, ada anggapan cerah dan anggapan suram publik terhadap kinerja dari kepemimpinan SBY-JK. Anggapan suramnya, ketidakpuasan publik terhadap kondisi ekonomi melonjak drastis. Untuk pertama kalinya, popularitas presiden SBY di bawah perolehan hasil Pemilu Presiden. Isu kenaikan harga BBM juga membuat dukungan terhadap kelompok oposisi menguat. Sementara anggapan cerahnya, publik mengapresiasi dengan baik tindakan pemberantasan korupsi yang dilakukan SBY. Publik juga masih percaya dengan kemampuan dan personality SBY. Hal tersebut berarti setidaknya memberikan peluang kepada SBY-JK untuk tetap melakukan kepemimpinannya, ataupun melanjutkannya pada Pemilu 2009.
Setelah melewati separuh masa pemerintahannya selama dua setengah tahun, pemerintahan SBY-JK menghadapi persoalan yang lebih berat ditinjau dari sisi opini publik. Pemerintahan SBY-JK bukan saja menyaksikan menurunnya tingkat kepuasan publik atas kinerja pemerintahannya di berbagai bidang. Yang jauh lebih parah adalah sudah terbentuk pesimisme baru publik atas masa depan kapabilitas pemerintahan dalam menangani masalah ekonomi. SBY- JK harus menyegarkan kembali pemerintahannya dan mengambil kebijakan yang mempunyai efek massif untuk membangkitkan kembali harapan dan optimisme publik.


seperti opini yang ditemui di Indonesia Media Online, dikutip beberapa kalimat:
Awal Pemerintahan Yang Meragukan.
Program terapi kejut (shock therapy) diluncurkan sebagai jalan pintas untuk menuai citra awal yang positif. Penjara- penjara disidak dan koruptor dipindahtempatkan, pasar-pasar rakyat dan terminal dikunjungi, aparat kejaksaan dikumpulkan dan diberi wejangan. Saat yang sama, mereka lupa membeberkan kepada publik bagaimana program dan langkah yang jelas dan bertahap yang akan dikerjakan oleh masing-masing kementerian dalam jangka waktu tertentu. Dan apa yang disebut sebagai terapi kejut itu juga tak begitu jelas: apanya yang mengejutkan, apanya yang mengerikan? Tidak ada sesuatu yang dapat membangkitkan efek psikologis yang mendalam dan menjerakan bagi pihak-pihak terkait. Semuanya tak lebih dari sekadar prosesi public relations, tanpa pengungkapan isi dan itikad sejati.
Masalahnya, realitas politik adalah realitas opini publik. Kinerja politik sering dipandang berdasarkan apa yang disebut Matthew Dawd (mantan direktur jajak pendapat dan perencanaan media Presiden George Bush) sebagai urban political legend. Jika sesuatu terus-menerus dikatakan, dimuat secara ekstensif dan intensif oleh media massa, dan dinyatakan oleh para analis, lama-lama publik perkotaan akan mempercayainya.
Citra SBY selama ini sering dilukiskan oleh media dan para pengamat sebagai peragu dan tidak tegas (indecisive). Jika SBY memenuhi citra ini dengan keputus- an-keputusannya yang inkonsisten, akan terjadi apa yang disebut sebagai self-fulfilling prophecy (nubuat yang memenuhi dirinya sendiri). Jika situasi ini terus berulang, sebuah urban political legend akan terbentuk, dan akan sulit bagi SBY untuk keluar dari stigma seperti ini. Sebuah citra baik di saat kampanye akan surut ke titik penjenuhan (point of diminishing return). Semuanya akan bermuara pada delegitimasi politik.
Menghadapi dua setengah tahun ke depan, SBY-JK diharapkan menyegarkan kembali pemerintahannya, dengan mengambil kebijakan radikal untuk cepat megangkat kesejahteraan masyarakat. Tahun 2007 adalah tahun yang paling kondusif untuk mengukir prestasi ekonomi, karena tahun 2008, apalagi 2009 sudah dipenuhi oleh intrik dan konflik menuju pilpres 2009. Mungkinkah karena faktor tersebut, sehinga membawa publik ke arah banyaknya muncul partai-partai baru pada Pemilu 2009 mendatang?

Kebutuhan Publik akan kehadiran "Hal yang baru"
Dengan kebutuhan publik akan kehadiran sebuah hal baru tersebut, akhirnya timbul kekhawatiran dari sisi partai-partai yang telah lama berdiri. Kehadiran partai baru di Pemilu 2009 mendatang, dikhawatirkan akan menyedot massa mereka yang selama ini masih setia bersama partai itu ke dalam partai baru.
Partai-partai lama tentunya akan melakukan hegemoni kesadaran terhadap masyarakat agar kekuasaan tetap bisa direngkuh. Sebagai contoh, Golkar akan tetap mengorganisasi modal ekonomi-politik lama untuk menampilkan citra dan memobilisasi suara, melalui struktur dan media-media yang dikuasainya. Demikian juga, PKS akan tetap melakukan hegemoni kesadaran dengan menggunakan agama dan rasialisme, mengumandangkan sentimen moral dan agama untuk mempertahankan dan meningkatkan perolehan suaranya--bahkan juga menyebarkan paham fatalisme dan mistisisme dengan mengintervensi media (TV, koran, majalah, tabloid) agar kesadaran rakyat terpaku pada kebenaran program-program partainya.
Meskipun demikian, partai baru masih akan tetap memiliki peluang untuk mengambil posisi berhadapan dengan partai-partai lama sepanjang ia mampu menerapkan landasan ideologis, strategi-taktik, program, dan tindakan politik yang mampu merubah kesadaran massa ke arah perbaikan struktur ekonomi-politik yang memihak rakyat. Jika menurut data-data penelitian di atas, partai-partai lama masih akan tetap menang, mungkin kemenangan mereka tidak akan sekuat pada pemilu sebelumnya.
Artinya, partai-partai baru disediakan oleh kondisi objektif masyarakat yang harus direspons dengan tampilan partai yang cocok untuk perubahan. Partai baru masih punya ruang terbuka untuk menantang--bahkan menggantikan--posisi partai-partai lama yang nyata-nyata tidak mampu menyelesaikan masalah, seperti yang dalam pemikiran masyarakat selama ini. Masyarakat ternyata belum puas tehadap keadaan kepemimpinan sekarang, mereka membutuhkan seorang figur yang sesuai dengan yang mereka harapkan. Seperti yang dikutip pada situs KRHN (Reformasi Hukum), ada beberapa opini yang terbentuk di sana, diantaranya:

Mencari Potensin Kepemimpinan Lokal
Munculnya figur pemimpin baru dalam perpolitikan nasional bisa berasal dari banyak pintu. Selain melalui pintu kaderisasi oleh partai politik, pemimpin baru juga bisa datang dari tokoh yang selama ini berkiprah di daerah, baik dari jalur birokrat, pengusaha, maupun tokoh politik lokal. Kunci utama untuk terjun ke percaturan politik yang lebih tinggi, menurut pandangan publik, tak lain adalah citra bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
Peluang elite lokal berkiprah di tingkat nasional terbuka sangat lebar di tengah krisis kepemimpinan yang ditandai oleh ketiadaan tokoh baru untuk menggantikan elite politik nasional yang sudah bercokol sejak lama. Peningkatan jenjang karier dari tingkat lokal ke nasional ini sangat dimungkinkan dan biasa terjadi dalam hierarki politik. Peluang besar bisa jadi dimiliki oleh birokrat daerah yang selama ini sudah memiliki jaringan di pemerintahan.

Demokrasi Efektif
Menjelang akhir tahun 2007 dan memasuki tahun 2008, jagad perpolitikan Tanah Air mengalami pemanasan menyongsong pemilu yang akan dilaksanakan pada tahun 2009. Beberapa partai besar mulai mendklarasikan jagonya untuk diajukan dalam pemilihan presiden langsung. Tokoh-tokoh lama yang diperhitungkan akan maju lagi dalam pememilihan presiden terlihat memanfaatkan momen Lebaran untuk melakukan terobosan-terobosan politik. Presiden SBY memperkuat modal politik populis dengan menyambut masyarakat yang kembali dari mudik Lebaran di Terminal Kampung Rambutan. Yusuf Kalla mendatangi tokoh-tokoh nasional untuk melakukan silaturahim politik. Jago baru, mantan gubernur DKI Sutiyoso juga sudah mengibarkan bendera dan mengendus dukungan.
Sebelumnya, PDIP juga telah menumumkan pencalonan kembali Megawati. Kita masih akan mendengar tokoh-tokoh lain seperti Wiranto dan Amien Rais. Dalam demokrasi, menyemai 'tanaman politik' yang bisa dipanen pada musim kampanye nanti merupakan tindakan yang sah.
Pada opini "Mencari Potensin Kepemimpinan Lokal" dimaksudkan memang sang penulis mengutarakan suaranya bahwa dalam Pemilu mendatang mungkinkan akan menghadiri wajah-wajah yang baru, walaupun masih terdapat wajah lama dalam pesta demokrasi tersebut. Dalam tulisannya, dia memberikan penjelasan kepada pembaca, bahwasanya seorang figur kepemimpinan dapat dimunculkan pada situasi lokal.
Sedangkan pada tulisan kedua "Demokrasi Efektif" dituliskan bahwa walaupun terdapat wajah baru pada Pemilu 2009 mendatang, namun wajah-wajah lama yang kembali hadir tetap menjadi sorotan.

Terlalu Pusing Memilih
Banyaknya partai-partai dengan janjai-janjinya yag hampir sama satu sama lain, ternyata malah membuat publik membawanya ke ke arah pembahasan mengenai penyederhanaan partai politik di Indonesia. Hal tersebut terjadi karena dimungkinkan publik terlalu banyak dihadapkan pada banyak pilihan partai, sedangkan dari publik sendiri tidak ingin pusing dalam memilih.
Pada Majalah Tempo Edisi 9-15 Juli 2007 terdapat penulisan mengenai "Plus – Minus penyederhanaan Partai". Dituliskan di situ ada beberapa alternatif / opsi dalam melakukan penyederhanaan partai oleh pemerintah, dikutip dari majalah tersebut, diantaranya:
Electoral Threshold
Sulit membangun sistem kepartaian yang sederhana sekaligus representatif secara maksimal dalam masyarakat yang heterogen seperti Indonesia. Diusulkan agar electoral threshold atau ambang batas minimal perolehan suara partai dalam Pemilu 2009 dinaikkan dari tiga menjadi lima persen. Bila usul ini disetujui, partai-partai yang mendapat suara di bawah lima persen dalam Pemilu 2009 tidak bisa ikut dalam Pemilu 2014.
Jika hal ini dihubungkan dengan opini dari Mira tadi, berarti partai-partai kecil yang terancam tersebut, akan melakukan koalisi (Kerjasama / bergabung) membentuk sebuah partai baru, seperti pada hal ketiga yang dia kemukakan.
Sistem Pluralitas Sederhana
Alternatif lain untuk penyederhanaan sistem kepartaian adalah mengubah sistem proportional representation (PR) seperti yang dianut Indonesia sekarang menjadi sistem pluralitas – secara kurang tepat sering disebut dengan sistem distrik. Di negara-negara demokrasi, sistem pluralitas dari varian first past the post (FPTP) atau pluralitas sederahana dan varian block vote cukup membantu menyederhanakan sistem kepartaian dibandingkan sistem PR dengan segala variannya.
Sama seperti usul untuk menaikkan electoral threshold menjadi sepuluh persen, perubahan sistem PR menjadi sistem pluralitas kemungkinan besar akan mendapat perlawanan dari partai-partai yang mendapat suara sedikit di banyak daerah pemilihan
Tetap Demokratis
Sistem pluralitas mengebiri demokrasi karena mengabaikan suara rakyat yang memilih partai-partai lain yang tidak mendapat kursi di DPR, walaupun bila ditotal bisa cukup besar. Suara terbuang itu bisa dikurangi kalau jumlah partai yang bersaing sedikit, Tapi reaksi negatif lain akan muncul, kemungkinan tingkat partisipasi lebih rendah dalam pemilihan umum sebab jumlah partai yang sedikit akan mempersempit keragaman aspirasi pemilih. Ini akan mendorong warga tidak ikut serta dalam pemilihan umum.
Seperti yang dituliskan pula pada Editorial Media Massa Indonesia, 9 Januari 2007. Menilik dari Pemilu yang lalu, dituliskan bahwa terlalu banyak Parpol yang bermain. Dalam tulisannya,


Parpol Terlalu banyak
Partai politik di Indonesia kembali dibicarakan. Kali ini datang dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Pemilu 2009 sebaiknya hanya diikuti paling banyak 12 parpol. Bila mengacu kepada keinginan PDIP, Indonesia didambakan menjadi negara dengan sistem kepartaian sederhana. Tidak dua partai, tetapi tidak juga multipartai. Dengan maksimum 12 partai, penyelenggaraan kehidupan bangsa dan negara serta pertumbuhan demokrasi dianggap lebih efisien, efektif, dan masuk akal. Terlepas dari sistem multipartai atau dua partai, penyelenggaraan negara yang efisien dan efektif adalah bekerjanya mekanisme check and balances secara baik. Baik artinya mudah dimengerti dan gampang diformulasikan.
Biasanya yang mudah dan gampang itu didukung secara masuk akal oleh sistem kepartaian yang sederhana. Tidak multipartai. Bila partai tidak terlalu banyak, rakyat tidak bingung ketika memilih. Bila partai tidak terlalu banyak, pemerintahan bisa berjalan lebih cekatan dan cepat karena proses pembentukan koalisi lebih mudah.
Dan juga, bila jumlah partai tidak terlalu banyak, peluang partai-partai untuk meraih kemenangan mayoritas lebih mudah. Itu syarat penting bagi stabilitas pemerintahan. Lagi pula, bila peserta pemilu tidak terlalu banyak, biaya penyelenggaraan menjadi lebih murah.
Kenyataan di Indonesia saat ini sangat ironis. Partai banyak dan dideklarasikan terus-menerus dari bulan ke bulan. Namun, hampir tidak ada perbedaan jelas antara platform partai yang satu dan lainnya. Yang amat kentara perbedaan platformnya adalah antara partai nasionalis dan partai agama. Namun, di Indonesia partai-partai yang bernapaskan agama berjubel dan terus lahir, demikian pula partai yang bernapaskan nasionalisme. Kelahiran partai baru semakin tidak terkendali ketika orang-orang yang kecewa dengan partainya membentuk partai baru dengan amat gampang.
Jadi, kita sebaiknya mengarah ke sistem partai sederhana. Tidak didasarkan dekrit atau keppres, tetapi pada ketentuan mengenai electoral threshold. Dengan demikian jika ingin menyederhanakan partai, naikkan saja electoral threshold dari sekarang 3% menjadi 4% atau 5% bahkan lebih. Dan jangan lupa juga untuk membolehkan partai lokal hidup di daerah-daerah yang menjadi basis eksistensi mereka.
Opini tentang penyederhanaan parti dapat dimungkinkan berkembang pada publik dalam pembahasannya. Karena pada dasarnya publik sebenarnya hanya menginginkan sebuah pemimpin yang pas untuk negara ini, tanpa membuat mereka sendiri pusing dalam mengikuti Pesta Demokrasi tersebut dari proses pencalonan hingga pemilihan.
Pemilu masih setahun lagi, 2009. namun telah banyak opini yang terbentuk. Dari sebab munculnya keberadaan banyak partai, kekecewaan terhadap kepemimpinan sekarang, hingga mengingikan adanya proses yang mudah dalam memilih partai pada Pemilu 2009. Masih banyak yang diamati menjelang setahun ke depan saat Pesta Demokrasi rakyat tersebut dimulai.

Tidak ada komentar: