Senin, 21 Juli 2008

Koran jablay

Jika sedang berada di jalan, perempatan lampu merah, ataupun tempat umum, dapat ditemui pengecer koran, dan itu sudah biasa. Namun ada yang menarik pertahian jika dilihat dari apa yang mereka jual, media cetak nasional dijual (Koran) dengan harga murah, seribu rupiah! Harga yang sangat menarik, jika dilihat dari tebal halaman Koran yang dikatakan relatif tidak tipis dan dijual dengan murah.
Mungkin memang Koran dengan harga jual semurah itu jika dilihat keadaan di sore hari dapat sedikit dimengerti. Mengingat sang agen & pengecer lebih memilih barang dagangannya habis pada hari itu juga, ketimbang menjadi retur. Namun memang suatu kenyataan jika Koran dengan harga semurah itu telah dapat ditemui dapat ditemui sekitar pukul 10.00 / 11.00.
Perlu dimengerti, selama ini yang telah dijumpai justru adalah koran-koran tingkat jangkauan nasional yang berani membandrol eceran seharga Rp. 1.000,- dengan waktu "sepagi" itu. Dan walaupun dengan harga Rp. 1.000,-, bukan berarti hal karena produk mereka tidak laku, dapat dibuktikan, iklan yang terpampang pun juga terhitung laris. Sungguh mengesankan!
Siapa yang tidak tergiur melihat Koran dengan harga seperti itu. Wajar lah jika secara awam, dilihat secara ekonomis dan efisien, jika orang diminta untuk memilih antara koran nasional dengan harga Rp. 1000,- atau koran lain dengan harga di atas itu, dan belum tentu nasional, dimungkinkan cenderung lebih menarik Koran nasional dengan harga murah. Terlebih pada tingkatan pelajar yang memiliki keterbatasan dalam segi finansial.
Dalam publik, Koran-koran tersebut biasa diistilahkan Koran "jablay", entah bagaimana bisa disebut seperti itu, adalah berhubungan degan harga yang disodorkan pada konsumen. Memang benak awal ketika pertama kali menjumpai koran dengan harga jual serendah itu dengan waktu yang tidak wajar adalah image dari Koran itu. Bagaimana sejarah mulanya Koran nasional muncul dengan harga serendah itu? Apakah ada permasalahan di balik itu? Ataukah memang strategi media tersebut?
Lalu berikutnya, bagaimana nasib dengan Koran di luar itu? Alih-alih jika koran-koran lain bisa bersaing atau mengungguli koran nasional dengan harga normal, bagaimana jika sekarang dihadapkan dengan pesaing dengan bandrol lebih berani sekarang? Sangat sulit jika para pesaing yang merasa terpukul dengan saingan bandrol berani tersebut coba menandingi dengan harga yang serupa atau lebih berani. Dilihat dengan keadaan pengiklan mereka yag tidak sehebat dengan koran nasional, tidak bisa menutup jika hanya bergantung pada iklan, pengaruh harga dan konsumen sangat kental.
Banyak yang bisa dianalisa oleh setiap orang mengenai gejala ini, terlebih pada dampak strategi pasar koran nasional seperti ini pada beberapa pihak. Dari pihak agen misalnya, keadaan harga bandrol seperti ini tentu saja semakin menyulitkan para agen dalam mencari ataupun mempertahankan pelanggannya. Karena jika dihitung-hitung, lebih ekonomis berlangganan secara eceran rutin Rp. 1.000,- . Untuk sebulannya jika hal itu dilakukan, maka hanya menghabiskan dana sekitar kurang lebih Rp. 30.000,- saja dibandingkan jika berlangganan bulanan daripada harus mengras kocek lebih mahal, bahkan bisa 2 kali lipat. Tentu saja agen mau ridak mau harus berpikir keras utnuk mempertahankan konsumennya agar tidak berpaling pada perhitungan seperti itu. Karena jika tidak, mungkin saja sang agen bangkrut.
Namun hal yang paling menarik untuk disorot adalah bagaimana nasib para media cetak lokal menghadapi kenyataan pasar tersebut. Mungkin para media cetak nasional melakukan strategi pengambilan keputusan bandrol harga tersebut guna menyaingi pesaing-pesaing media cetak nasional lainnya. Namun, secara tidak langsung, media-media lokal yang ada di daerah terkait pun juga terkena efek dari strategi tersebut.

Jika dianalisis dengan analisa S.W.O.T., maka setidaknya bisa memiliki gambaran bagaimana yang akan terjadi pada media cetak lokal tersebut.

Strength (Kekuatan)
Dalam sisi kekuatan, media cetak lokal tentu saja masih memiliki posisi tersebut. Keberadaan media cetak lokal di daerahnya, tentu saja memberikan (Top of mind) di kalangan masyarakat atau daerah tersebut sebagai media cetak lokal yang tentu saja menyediakan segala informasi di daerah lokal dan sekitar.
Berbeda dengan koran nasional, yang menyajikan informasi secara nasional. Masyarakat terkadang berpikir dua kali jika membeli koran nasinoal sedangkan dia lebih membutuhkan berita lokal dan di daerahnya sendiri. Dari sisi tersebut, media cetak lokal bisa mengunggulkan posisi tersebut. Degan meningkatkan kualitas pemberitaan di daerah lokal yang mungkin tidak dapat dijamah seluruhnya oleh media cetak nasional.
Untuk dari segi sirkulasinya sendiri, media cetak seharusnya lebih unggul. Karena secara logika media cetak lokal tentu saja telah mengenal daerah dan medan dari daerah itu sendiri. Disamping itu, waktu yang dibutuhkan untuk sirkulasi jika mengedarkan produknya dirasa lebih cepat dan ringkas dibandingkan dengan koran nasional untuk memasukui sirkulasinya ke daerah yang sama tersebut, pasti lah tidak langsung ke konsumen, melainkan melewati tahapan terlebih dahulu. Dan waktu yang dibutuhkan koran nasional untuk membandrol harga menjadi Rp. 1.000,- ketika lebih dari pkl. 09.00. Jadi sebelum waktu tersebut, harga koran nasional masih normal.
Keadaan itu bisa menjadi kekuatan bagi media cetak lokal apabila strategi sirkulasi dan pemasarannya dengan agen apabila dilakukan dengan tepat, sebelum harga normal koran nasional menjadi "jablay", koran lokal harus segara disampaikan ke tangan konsumen.

Weakness (Kelemahan)
Posisi media lokal sebagai penyalur informasi secara lokal, bisa juga menjadi kelemahan tersendiri. Dikareakan tidak seluruh warga lokal (daerah) hanya menginginkan informasi secara lokal dan sekitar aja. Kebutuhan akan informasi yang lebih luas dari warga lokal adalah hal yang sulit diwujudkan oleh media cetak lokal.
Kelemahan yang paling tampak (mencolok) juga terletak apabila media cetak nasional mulai membandrol harganya menjadi Rp. 1.000,-. Sulilt jika media cetak lokal coba menandinginya dengan ikut membandrol "harga dirinya". Karena sumber utama dari koran lokal adalah iklan dan konsumen. Tidak mungkin jika hanya mengandalkan iklan saja, mengingat pengiklan di koran lokal tidak semeriah di kora nasional. Sehingga media cetak lokal tersebut mau tidak mau kukuh dengan harga aslinya.
Terkadang cakupan pemasaran koran lokal untuk menjamah lebih dari sekitar daerah lokal sulit. Dikarenakan belum tentu masyarakat di luar daerah lokal mengenal media cetak lokal tersebut. Mereka cenderung pertama lebih mengenal koran nasional secara banyak yang mengenal karena pemasarannya yang secara nasional.
Belum lagi dengan keadaan sumber daya manusia dari media cetak lokal sendiri ketimbang media cetak nasional. Kemampuan koran nasional dalam menyajikan rubrikasi secara beragam dan banyak bisa melemahkan ketertarikan konsumen pada koran lokal. Hal itu diperlemah lagi saat koran nasional dengan harga bandrol Rp.1.000,-. Siapa yang tidak tertarik dengan informasi beragam dan banyak dengan harga murah?

Opportunity (Peluang)
Sedangkan peluag pada media cetak lokal sendiri terletak pada pemasang iklan media cetak lokal. Terkadang ada juga produk lokal dimana sang pengiklan berpikit lebih efektif untuk menjamah konsumen secara lokal dan sekitar terlebih dahulu. Disamping itu pula efisiensi dan sifat pemasangan harga yang cenderung lebih murah (ekonomis) dibandingkan jika memasang iklan di media cetak nasional, yang belum tentu produknya juga bertaraf nasional (Menyeluruh ke setiap daerah).
Dengan berarti, media cetak lokal masih dapat untuk tetap bertahan dengan harga yang normal walaupun dengan pesaingnya yang nasional dengan harga murah. Namun konsekuensinya memang harus mengandalkan pada kepercayaan konsumen dari sisi pemberitaan lokal yang lebih dipercaya informatif dan terkait dengan itu juga pada pengiklan yang masih bertahan dengan media cetak lokal dengan harapan konsumen lokal lebih efektif.

Threatment (Ancaman)
Ancaman untuk koran lokal paling jelas terdapat pada strategi dari koran nasional itu sendiri. Bisa saja suatu saat koran nasional lebih nekat lagi menaruh strategi pemasarannya dengan membandrol harga hingga di bawah Rp. 1.000,-, bahkan bisa jadi dengan harga cuma-cuma!
Kecenderungan itu bisa saja terjadi, mengingat koran nasional saat ini saja telah berani membandrol dengan harga yang rendah, berarti tidak ada permasalahan dari ssi pemasaran dan periklanan, khususnya periklanan. Bisa dimungkinkan koran nasional sudah dapat hidup haya dari para pemasang iklan tanpa memperdulikan berapa laba yang bisa diambil dari konsumen / pembaca.
Berbeda dengan koran lokal yang banyak menaruh harapan pada harga yang kenakan pada konsumen / pembaca untuk menutupi biaya produksi / laba yang tidak hanya dari pemasangan iklan saja
Dengan kata lain, media lokal harus tetap berusaha untuk terus berpikir keras bagaimana caranya untuk dapat tetap bertahan hidup dan dianggap keberadaanya di mata konsumen, walaupun sang koran "jablay" terlihat mencolok.
Sehingga sangat sulit berprospek bagi media cetak lokal apabila tidak memiliki strategi yang khusus berpusat pada daerahnya sendiri dan memberikan hal yang menonjol bagi pembacanya agar tetap menjadi "top of mind" di daerahnya sendiri.