Senin, 21 Juli 2008

Menilik Tayangan Empat Mata

"Empat Mata" merupakan salah satu acara talkshow dengan perspektif komedi yang telah ditayangkan di sebuah stasiun televisi swasta selama kurang lebih setengah tahun ini. Yang mengejutkan, acara "Empat Mata" hanya dalam beberapa pekan, bahkan hanya dalam beberapa episode, telah memliki penggemar yang sangat banyak. Kedudukan rating yang dimiliki serial "Empat Mata" sampai saat ini pun masih dibilang tinggi dan stabil. Semakin lama keberadaan "Empat Mata" ini, semakin banyak juga pemirsanya.
Padahal jika coba kita telisik lebih jauh lagi, sebenarnya acara empat mata terkesan monoton. "Dagelan" yang ditawarkan pun sebenarnya hanya itu-itu saja. Bahkan tak jarang lawakannya cenderung lebih ke "pelecehan" fisik atau ke-"Ndesoan" Tukul sebagai presenter yang menjadi objek empuk untuk di"hina". Lawakan-lawakan seperti itu biasanya sangat digemari oleh masyarakat dengan kondisi pendidikan dan ekonomi yang rendah. Akan tetapi pada kenyataannya, empat mata bisa masuk ke semua kalangan masyarakat.
Acara "Empat Mata" dengan host Tukul Arwana telah memberikan suatu alternatif hiburan yang ternyata terbukti sangat mengakar di benak pemirsa televisi. Memang, ada sebuah keunikan tersendiri dari acara yang mungkin pada awalnya memiliki segmentasi pasar untuk masyarakat kelas menengah ke bawah. Jika beberapa acara televisi lainnya justru mengumbar kemewahan, kecantikan para personilnya, impian yang tidak realistis dan lain sebagainya, di acara ini justru kita menemukan sebaliknya. Yang ada hanyalah seorang presenter yang "Ndeso", jelek, dan cukup realistis karena bintang tamunya tak hanya artis-artis papan atas saja, tapi juga orang-orang sub-urban yang notabene kebanyakan adalah masyarakat menengah ke bawah atau bahkan benar-benar masyarakat lapis bawah. Bahkan saat ini, justru para selebriti itu akan terasa bangga jika mereka tampil di acara empat mata
Dan keunikan acara ini (yang juga sekaligus merupakan trade-on dari acara ini) adalah dimana Tukul Arwana sebagai presenter yang juga bisa disebut sebagai "yang punya acara" justru menjadi obyek tetap yang empuk untuk dicela dan dihina (meskipun semua itu berlabel "just kidding".
Jargon "Ndeso" dan "Kembali Ke Laptop"-nya bahkan tengah mewabah di masyarakat dan pada akhirnya memiliki ingatan yang kuat di benak masyarakat. selain ringan, gaya itu diangggap paling bisa "menaikkan" status sosial kaum sub-urban yang pada umumnya sedikit minder, atau tidak percaya diri. Pada saat ini, mungkin orang takkan minder lagi jika di cap "Ndeso".
Pro – Kontra acara "Empat Mata"
Jika dipandang dari yang dijabarkan di atas, memang fenomena acara "Empat Mata" menimbulkan banyak dampak yang bisa dibilang hal-hal yang positif.. Jika menelusuri dunia maya (internet), banyak sekali situs-situs, blog, maillist, ataupun hanya sekedar komentar-komentar tentang acara "Empat Mata", entah itu pro atau kontra.
Dalam hal pro akan "Empat Mata", bisa dilihat dari adanya Friendster dari Tukul Arwana sebagai host dari "Empat Mata". Banyak sekali sebutan-sebutan yang ada, entah "Tukulia", "Tukulers", dsb. Saking simpatinya dengan Tukul di "Empat Mata". Banyak penilaian-penilaian positif dan dukungan terhadap eksistensi acara "Empat Mata" dengan host Tukul Arwana.
Namun, jika ditelusuri lebih jauh lagi, dari berbagai sumber media menyatakan banyak hal negatif juga yang terdapat dalam acara "Empat Mata". Pemakaian bahasa yang digunakan oleh Tukul selama ini memang terkesan kasar. Seperti : "Tak sobek-sobek mulutmu!" atau "Katrok!" sering diucapkan. Jika setiap individu dari pemirsa yang menyaksikan diminta untuk menilai, dapat dipastikan memang ucapan seperti itu memang kasar. Namun, kenapa masih banyak yang menggemarinya? Bahkan semakin banyak.
Hal ini menunjukkan pemirsa, dalam konteks ini adalah masyarakat Indonesia menggemari olok-olokan khas dari acara "Empat Mata". Bagaimana jika apa yang digemari masyarakat Indonesia tersebut semakin lama menjamur dan mengakar?
Dalam tulisan Paulus Mujiran, Pendidikan Anti-Tukulisme (Media Indonesia, 1 Februari 2007), mengajak untuk merefleksikan satu jenis talkshow yang hari-hari ini menyedot perhatian khalayak: Empat Mata. Melalui kacamata pendidikan, tulisan Mujiran berhenti pada kesimpulan bahwa ada kekeliruan dalam pendidikan di negeri ini sehingga masyarakat begitu menggemari acara "olok-olokan", lontaran penuh seronok, dan tertawaan yang mengeksploitasi fisik ala Tukul Arwana.Mujiran menyebut penggemar talkshow yang dibawakan secara ngawur oleh Tukul tersebut sebagai Tukulisme. Tukulisme inilah yang dipandang Mujiran sebagai cermin dari buah pendidikan yang anti-pluralis, yang mengesampingkan penghargaan terhadap keragaman, baik agama, status sosial, cara hidup dan sebagainya. Satu jenis pendidikan yang memang masih sangat jarang kita dengar, apalagi kita temui, dalam masyarakat yang serba multi; etnis, agama, ras, bahkan kelas sosial. Olok-olokan seperti wong ndeso, katrok, kutu kupret dan sederet sumpah serapah lainnya menegaskan bekerjanya "kekerasan psikologis" terhadap mereka yang lekat dengan istilah-istilah tersebut.
Tidak hanya ucapan saja, beberapa sikap Tukul yang sering diperlihatkan di "Empat Mata" seperti meminta cium pipi dari setiap bintang tamu wanita yang hadir, lalu bergembira setelah mendapatkannya, sebenarnya bisa dinilai kurang begitu etis jika ditayangkan sebagai acara talkshow berpendidikan dan berkualitas.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), lembaga negara yang bersifat independen, pernah melayangkan surat peringatan bernomor 480/K/KPI/10/06 bertanggal 13 Oktober 2006. dalam peringatannya berisi bahwa sejumlah tayangan Empat Mata memuat lelucon cabul dan merendahkan perempuan sebagai objek seks. Contoh, dialog cabul Tukul dengan Taffani Dewi pada 6 September 2006 dalam episode "Berani Tampil Polos". Begitu juga dialog dengan Inul dalam episode "Bosku Cantik" pada 13 September 2006. Termasuk, dipertontonkannya gambar-gambar berkategori "panas", karena kamera menyorot bagian-bagian tubuh bintang tamu wanita di "daerah" yang tidak semestinya.
Publik juga punya catatan serupa. Trade mark Tukul yang suka mencium pipi dan mencolak-colek tamu wanitanya sungguh kebablasan. Tak heran, seorang siswi SMP di kawasan Waru - Sidoarjo menilai penampilan Tukul di "Empat Mata" jorok.


Keberadaan acara "Empat Mata" memang bisa dibilang sebuah dilema. Dapat disebutkan seperti itu, dikarenakan memang banyak hal-hal yang harus dikaji dan dikoreksi lebih jauh lagi terhadap isi dari "Empat Mata" sendiri. Namun pada kenyataannya, masyarakat sendiri menggemari hal-hal yang seperti itu. Semakin sulit untuk memposisikan diri jika bersikap sebagai sebuah media. Harus memperhatikan kualitas pendidikan dan pesan dalam acara, atau mengikuti kemauan audiens?
Jika mengikuti kemauan audiens, sudah jelas mereka menanggapi dengan senang hati. Namun, jika diperhatikan dari segi kualitas pendidikan ataupun pesan, apakah masyarakat dapat langsung menerima?
Kembali lagi kepada masyarakat Indonesia sendiri tentunya. Norma-norma baru seperti ini memang terbentuk setelah adanya tayangan "Empat Mata". Akan tetapi, siapakah yang dapat mengatur dan mengendalikan norma tersebut? Apakah masyarakat sendiri, atau serial "Empat Mata"?

Tidak ada komentar: