Senin, 21 Juli 2008

Propaganda dalam Kancah Perpolitikan Indonesia


Bila mendengar kata Propaganda, maka akan terbesit sekilas tentang kekuasaan. Dalam berpolitik, seorang penguasa maupun lawan-lawannya tak ayal menggunakan propaganda sebagai andalannya. Dengan propaganda, akan jadi bias dalam persaingan dalam berpolitik. Dimana dari lawan menjadi kawan ataupun sebaliknya, kawan menjadi lawan. Propaganda sendiri berarti mengandung pengertian penyampaian informasi secara terus-menerus, jika perlu diikuti dengan penggunaan kekerasan fisik terhadap pihak-pihak yang tidak setuju, tanpa menghiraukan hak-hak si penerima pesan (dalam hal ini adalah rakyat) untuk menghindar dari arus informasi tersebut.
Dalam sejarahnya sendiri, propaganda telah lama muncul. Hal itu bisa ditunjukkan dari peradaban kuno dimana ditunjukkan bahwa penguasa-penguasa seperti Kublai Khan ataupun Hayam Wuruk. Dalam berkuasa, mereka telah menggunakan propaganda untuk menarik massanya.
Studi secara sistematik juga dilakukan di Barat, terhadap teori-teori propaganda dimulai dengan perkembangan di Athena pada tahun 500 SM. Saat itu studi tentang propaganda disebut sebagai retorika yang berarti “teknik-teknik para orator”. Trik-trik menggunakan bahasa yang mantap diwarnai dengan humor, ditambah dengan argumen yang logis dipraktekan para pengacara, demagog dan politisi.
Prestasi penguasa itu dipaparkan secara berlebihan sehingga muncul mitos dan berbagai kepercayaan di kalangan massa akan kehebatan dan keperkasaan para penguasa. Kepercayaan yang hidup dalam masyarakat yang berasal dari kitab-kitab peninggalan lama menunjukkan teknik propaganda telah lama dipakai dalam berbagai peradaban.
Seperti yang baru saja terjadi beberapa bulan yang lalu di Yogyakarta, propaganda digunakan dalam Pilkada (Pilihan Kepala Daerah). Pada saat itu, di setiap perempatan, jalan besar, tempat-tempat keramaian bisa dipastikan terpampang baliho, Spanduk, dsb. Dengan bergambar wajah seorang tokoh bermodal title dan gelar yang panjang, tertulis juga semboyan-semboyan untuk menarik massa. “Bangun Jogja Kembali!” atau “Berkarya Nyata Melayani Rakyat, Bersana Membangun Jogja…”, dsb. sering dijumpai. Tidak hanya sampai di situ, berbagai selebaran dan iklan-iklan yang terpampang di surat kabar memberikan janji-janji akan program-program setiap kandidat apabila terpilih nanti.
Nampaknya semua itu belum meyakinkan para kandidat untuk mendapatkan massa yang sebanyak-banyaknya. Dengan mengutus para kader-kadernya untuk berkampanya hingga menempelkan selebaran dan berbagai poster di setiap tiang ataupun tembok juga nekat dilakukan. Padahal jika dinilai lebih jauh, tindakan-tindakan yang dilakukan hingga seperti itu sama saja merusak pemandangan yang ada dan mengotori sekitar, tentu saja cara-cara semacam itu justru merugikan banyak pihak.
Akan tetapi hal-hal seperti itu nampaknya sudah tidak diperhitungkan lagi oleh para kandidat. Demi kekuasaan, apapun rela dilakukan. Maka tidak heran bila calon Pilkada tidak ragu mengeluarkan dana cukup besar memasang iklan dirinya sebagai kandidat, untuk mempengaruhi para calon pemilih.
Bentuk propaganda yang paling ramai di Indonesia sendiri adalah dengan memberikan santunan kepada warga ataupun “Serangan Fajar” (Istilah memberikan uang sebelum eksekusi pemilihan guna mendapatkan simpati). Memang pada kenyataannya cara seperti itu berhasil menarik massa yang tidak sedikit, masyarakat yang sebelumnya memiliki idola lain, dengan adanya serangan fajar, tiba-tiba bisa saja berubah haluan. Begitu menyedihkan, seseorang yang terjun di kancah perpolitikan mencari kekuasaan dengan memanfaatkan materi untuk menarik massa. Begitu juga dengan massanya, mereka memilih berdasarkan keuntungan yang diperolehnya pada saat itu, bukan karena potensi yang dimiliki kandidat untuk ke depannya.
Meskipun demikian banyak kritik dilontarkan terhadap kelompok yang memanfaatkan rendahnya pendidikan masyarakat demi keuntungan mereka yang berkuasa. Yang jelas untuk saat ini, para dalang-dalang perpolitikan di Indonesia maupun pendatang baru sekalipun setidaknya tidak terlalu pusing dalam melakukan propaganda guna menarik massa. Asalkan memiliki banyak modal materi, dukungan dari pihak terpandang di masyarakat, dan memiliki sesuatu yang bisa menarik simpati masyarakat, maka berpotensilah dia untuk mendapatkan massa banyak.

Tidak ada komentar: