Senin, 21 Juli 2008

Sejarah Singkat Propaganda
Propaganda sendiri berasal dari bahasa Latin propagare artinya cara tukang kebun menyemaikan tunas tanaman pada sebuah lahan untuk memproduksi tanaman baru yang kelak akan tumbuh sendiri, dapat juga diartikan dengan memekarkan atau mengembangkan tunas
Propaganda sebagai kata istilah tercatat digunakan pertama kali oleh Gereja Katolik Roma. Pada 1622, Paus Gregorius XV membentuk The Roman Catholic Sacred Congregation for the Propagation of the Faith (Sacra Congregatio Christiano Nomini Propagando atau singkatnya Propaganda Fide; diindonesiakan jadi Majelis Suci untuk Propaganda Agama). Propaganda Fide dibentuk untuk menyebarkan misi agama sekaligus mengawasi kegiatan misionaris agama Katolik Roma di Italia maupun di negara-negara lain. Alasannya, masyarakat yang tidak mengenal ajaran Katolik tidak akan pernah memeluk agama tersebut. Padahal tak kenal maka tak sayang. Karena itu harus ada usaha yang terorganisasi dari luar untuk memperkenalkan agama itu kepada masyarakat. Dengan begitu masyarakat akan mengetahui kemudian memeluk agama tersebut. Karena tujuannya untuk penyebaran agama, maka propaganda dinilai berkonotasi positif.
Untuk pandangan lain, mendengar kata propaganda, sosok yang langsung sekilas trpintas dalam sejarah dunia adalah seorang Adolf Hitler. Sosok Hitler identik sekali dengan propaganda, karena dia adalah merupakan salah seorang yang membuat propaganda berhasil membuat propagandanya naik ke pentas politik internasional. Ia juga yang membikin propaganda identik dengan kebohongan dan manipulasi. Padahal, dulunya, konon propaganda bertujuan mulia.
Saat itu, retorika adalah satu-satunya media propaganda. Propaganda dilakukan dengan hanya bermodalkan kemampuan olah wicara. Dengan diksi yang hebat, nada dan intonasi yang tepat, gestur dan gestikulasi yang memikat, seorang orator dapat mempengaruhi khalayak dengan cepat. Keadaan mulai berubah setelah terjadinya Revolusi Industri, terutama dengan keberadaan mesin cetak. Keberadaan mesin cetak membuat propagandis mampu menulis dan memperbanyak pesan-pesan propagandistik dalam bentuk pamflet dan poster. Selanjutnya, perkembangan teknologi informasi membuat propagandis memiliki semakin banyak alternatif media. Malah, kini media massa menjadi mesin propaganda yang trengginas.
Dalam perkembangannya, propaganda kemudian memperoleh konotasi negatif. Propaganda jadi identik dengan hal-hal buruk, seperti peneroran, penipuan, pembohongan, pemanipulasian, dan berbagai atribut jelek lain
Saat itu Hitler percaya betul bahwa propaganda adalah alat yang vital untuk mencapai tujuan. Hitler rupanya sangat terkesan dengan kekuatan propaganda Sekutu, khususnya Inggris, dalam Perang Dunia I dan meyakini propaganda sebagai penyebab jatuhnya moral dan semangat juang tentara Jerman pada 1918. Bagi Hitler, propaganda tidak lebih dari sekadar alat untuk meraih tujuan. Segala cara halal dilakukan. Menurut Hitler, propaganda yang terpenting tujuan tercapai, kejujuran dan kebenaran tidak pernah ada dalam kamusnya. Karena pemikiran Hitler itu, akhirnya propaganda menjadi identik dengan penghalalan segala cara untuk mencapai tujuan. Dan, itulah propaganda yang dipahami orang kebanyakan.
Pengertian Propaganda
Dalam karya klasik Laswell, Propaganda Technique in The World War (1927) menjelaskan propaganda merujuk pada kontrol opini dengan simbol-simbol penting, berbicara secara lebih kongret dan kurang akuat melalui cerita, rumor, berita, gambar atau bentuk-bentuk komunikasi sosial lainnya. Propaganda dalam arti yang paling luas adalah teknik mempengaruhi tindakan manusia dengan memanipulasi representasi (penyajian). Representasi bisa berupa lisan, tulisan, gambar atau musik.
Dalam arti internasional yang dituliskan pada Encyclopedia International, propaganda adalah suatu jenis komunikasi yang berusaha mempengaruhi pandangan dan reaksi, tanpa mengindahkan tentang nilai benar atau tidak benarnya pesan yang disampaikan.
Sedangkan pada International Encyclopedia of the Social Sciences (1968), disebutkan bahwa Propaganda adalah upaya sengaja untuk memanipulasi pemikiran dan perbuatan orang lain berkaitan dengan keyakinan, nilai, dan perilaku yang oleh orang tersebut dianggap kontroversial, dengan menggunakan simbol-simbol (kata, gestur, bendera, gambar, monumen, musik, dan sebagainya.
Dari kedua arti pandangan secara internasional tersebut, jika ditarik secara garis besar, berarti propaganda adalah upaya untuk mempengaruhi orang atau khalayak dengan berbagai cara. Definisi yang taat asas pada ilmu komunikasi cenderung menganggap propaganda sebagai metode komunikasi, sehingga menganggap propaganda murni sebagai alat.
Sebagai alat, propaganda bisa digunakan oleh siapa saja dengan tujuan apa saja dan caranya terserah. Siapa yang menggunakan dengan tujuan apa dan cara yang terserah itulah yang akan menentukan baik-buruknya propaganda. Propaganda yang dilakukan demi kemaslahatan umat akan dianggap sebagai propaganda yang baik
Unsur-unsur Propaganda
Ada beberapa unsur dalam program pelaksanaan propaganda, diantara satu sama lain saling berkaitan (bdgk. Sastropoetro: 1991, Nurudin: 2001). Diantaranya:
Propagandis
Propagandis adalah pihak atau pelaku yang secara sengaja melakukan penyebaran pesan dengan tujuan mengubah pola sikap dan pola pikir sasaran propaganda. Propagandis bisa berupa individu, individu yang melembaga (institutionalized person), atau lembaga. Adapun yang dimaksud dengan individu yang melembaga adalah seseorang yang ketika berpropaganda selalu mengatasnamakan atau dikaitkan dengan suatu lembaga.
Reaktor
Reaktor adalah pihak yang menjadi sasaran propagandis. Reaktor inilah yang pola pikir dan pola sikapnya hendak diubah mengikuti kehendak propagandis. Agar aktivitas propagandanya efektif, propagandis harus mengenal betul karakter reaktor. Kumpulkan segala macam informasi mengenai reaktor; usianya, pekerjaannya, agamanya, tingkat pendidikannya, kebiasaannya, dan sebagainya.
Pesan
Pesan propagandistik adalah isi atau materi yang propagandis susun sedemikian rupa agar mampu mengubah pola pikir dan pola sikap reaktor. Pesan ini disusun secara cermat dan matang agar reaktor dapat menerima pesan yang disampaikan sehingga pola sikap dan pola pikirnya sesuai dengan kehendak propagandis.
Cara penyampian pesan sangat perpengaruh terhadap kefektifitasan bentuk propaganda. Semakin baik pesan itu diterima oleh publik, berarti semakin efektif pula cara propaganda yang dilakukan oleh piak tersebut.
Media
Media merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang dikehendaki oleh propagandis. Propagandis menggunakan pelbagai sarana yang dipilih secara cermat agar sesuai dengan sasaran propaganda dan menimbulkan efek yang optimal. Propaganda kontemporer menggunakan semua saluran komunikasi –interpersonal, organisasional, dan massal– seperti surat kabar, majalah, radio, televisi, film, poster, anjangsono, dan sebagainya. Masalahnya bukan terletak pada penentuan media mana yang akan digunakan, melainkan pada penentuan media mana yang sesuai untuk tujuan dan sasaran yang diingini.
Efek
Efek adalah umpan balik yang dikehendaki oleh propagandis, berupa perubahan pola sikap dan pola pikir reaktor sesuai yang dikehendaki propagandis. Tentu saja apabila efek yang dilontarkan oleh reaktor sesuai dengan apa yang oleh propagandis, berarti pelaksanaan propaganda tersebut dikatakan berhasil.
Kaitan Erat Media Terhadap Perkembangan Suatu Propaganda.
Banyak anggapan bahwa bentuk propaganda adalah melalui. Oleh Lippman sendiri, ia mengemukakan tesisnya soal propaganda:
“Bila sekelompok orang dapat menahan khalayak untuk mendapatkan akses mereka terhadap berita, dan bisa memunculkan berita tentang peristiwa yang mereka kehendaki, pastilah di situ ada propaganda”.
Secara garis bsar bisa dipetik dari pernyataan tersebut, bahwa media adalah sumber dari arus propaganda. Selama ini, yang dapat dijumpai di media adalah propaganda dalam hal iklan sebuah produk, agar audiens tertarik untuk membelinya. Misal dalam bentuk media elektronik yang berupa iklan televisi dan radio. Ataupun lewat media cetak, berupa iklan koran / majalah, bahkan poster, hingga pamflet yang sering dijumpai di jalan-jalan.
Namun tidak menutup kemungkinan, keberadaan propaganda dalam hal berpolitik masih sering dijumpai, dan itu selalu ada. Saat suatu negara melakukan pesta pemilihan rakyat, yang misalnya di Indonesia sendri disebut pesta demokrasi (Pemilu), banyak sekali para partai memanfaatkan keberadaan media sebagai bentuk propaganda,.
Bentuk propaganda tersebut selal digunakan dalam hal retorika, kampanye, pidato, ceramah dan sebagainya. Seperti yang diketahui sendiri, terkadang propaganda yang dilakukan dalam berkampanye atau sejenisnya terlewat batas. Walaupun bentuk propaganda cenderung terselubung, akan tetapi tak ayal menimbulkan dampak yang terkadang merugikan.
Sebagian lagi dapat diklasifikasikan sebagai propaganda hitam. Istilah itu merujuk kepada informasi yang tujuannya memang untuk membunuh karakter saingan. Dalam propaganda hitam, hampir pasti informasi yang disebarkan itu hanya berupa fitnah dan kebohongan saja. Dan ternyata hal tesebut telah menjadi rahasia umum.
Sedangkan selama keadaan perang, kebanyakan negara-negara dunia yang berkaitan menggunakan propaganda dengan media. Bisa berbentuk poster, iklan TV, dan pengumuman radio. Terkadang mencegah orang di suatu negeri bahagia, memberitahu bahwa negeri mereka sedang berperang dan memberitahu betapa pentingnya bila musuh dikalahkan. Terkadang mencoba menimbulkan rasa benci musuh. Informasi itu bisa memberitahu orang bahwa musuh mereka jahat atau menunjukkan mereka bukanlah manusia. Terkadang pemerintah memberi propaganda pada musuh - memberitahu mereka bahwa perang sedang berlangsung sengit dan mereka mesti menghentikan perang.
Kasus Propaganda Dalam Dunia Internasional
Zaman propaganda dalam histori sekilas pada Hitler tadi, jika dibandingkan dengan kenyataan yang ada sekarang, telah banyak berubah. Walaupun begitu, tidak menutup kemungkinan saat ini juga masih terdapat propaganda yang seperti dilakkukan Hitler pada saat itu. Diantaranya:
Propaganda Amerika Serikat terhadap Irak dan Palestina
Seperti yang terjadi pada beberapa tahun yang lalu. Propaganda yang dilakukan Amerika Serikat ketika menyerang Afghanistan dan Irak sebagai propaganda yang buruk oleh publik. Dapat pula ditelusuri di berbagai media, situs, browsing, ataupun blog-blog.
Kasus invasi Amerika Serikat (AS) ke Irak pada tahun 2003 dapat dijadikan contoh praktek jahat Glittering Generality. Yaitu, menghubungkan dengan kata yang baik, dipakai untuk membuat sesuatu dapat diterima dan menyetujui sesuatu tanpa memeriksa bukti-bukti. Tentu saja hal ini sangat erat hubungannya dengan sebuah politik untuk menjatuhkan pihak lain.
Melalui kekuatan media, pemerintah AS mengkampanyekan bahaya senjata biologis pemusnah massal yang dikembangkan oleh Irak. Dengan alasan menyelamatkan dunia dari kemusnahan, Amerika Serikat melakukan invasi militer ke Irak. Sehingga Presiden Irak Saddam Husin terguling, Amerika Serikat belum mampu menunjukkan bukti adanya pengembangan senjata biologis pemusnah massal yang diisukan dikembangkan oleh Irak.
Tidak puas sampai di situ, setelah berhasil membentuk sekutu seperti Australia, selanjutnya Amerika mencoba menggandeng negara-negara lain dengan alasan untuk menangkap menumpas Usamah bin Ladin dan Al Qaidah sudah terlanjur diadili “in absentia”. Itu bahkan menjadi dalih terkuat Amerika untuk menyerbu Afghanistan dan menggulung Taliban. Sebagian besar berita mereka menyangkut keterlibatan mereka dalam aksi terorisme diperoleh dari sumber resmi Pemerintah Amerika Serangan Amerika ke situ dikatakan telah sukses menggulung jaringan Al Qaidah–meski Presiden Bush jelas gagal menunaikan janji kepada publiknya untuk “menangkap bin Ladin hidup atau mati”.
Setelah hancur markasnya di Afghanistan, sisa-sisa Al Qaidah juga dikatakan menyebar ke Asia Tenggara, dengan Indonesia sebagai sarang utamanya. Adalah berdasar sebuah video-tape yang katanya ditemukan serdadu Amerika di Afghanistan, Pemerintah Singapura menangkapi anggota kelompok teror “Jemaah Islamiyah” dan mengkaitkannya dengan sejumlah orang di Indonesia. Tudingan tentang “Jemaah Islamiyah” telah terangkai jauh sebelum Bom Bali diledakkan.
Dengan ancamannya yang terkenal, “you are with us or agiants us”, Pemerintah Amerika juga sukses menekan banyak negara untuk melakukan kerjasama pertukaran data intelejen. Salah satunya dengan negara-negara Asean. Pada sebulan sebelum Bom Bali, Amerika bahkan menyetujui bantuan dana anti-terorisme ke Indonesia sebesar US$ 50 juta.
Setelah kasus tersebut, mulai marak dengan kasus istilah "Islam fundamentalis". dari perkembangan yang ada, ternyata istilah ”Islam fundamentalis” direka oleh Barat dan Amerika.
Dalam akata lain, istilah tersebut yang ditujukan kepada beberapa gerakan Islam disifatkan sebagai terroris, membenci orang nasrani secara berlebihan. Istilah itu ternyata juga pernah disasarkan pada Indonesia. Dengan perpatok pada kasus-kasus pengeboman yang pernah terjadi di Indonesia.
Namun tidak terlalu berpengaruh besar di indonesia. Terbukti dapat dilihat di daerah Aceh, yang notabennya adalah penduduk Islam. Hal yang demikian tidak pernah dikenal di Aceh, sebab penduduk non muslim di Aceh tidak pernah tersentuh bulunya, hidup damai dan harmonis di Aceh. Bangsa Aceh mengenal tamadun dan protokol dalam dunia diplomasi, sehingga mampu menjalin hubungan politik dengan Inggris, Sepanyol, Perancis, demikian juga dengan Amerika, Jepang dan dunia Arab dengan tidak pernah ada pergesekan dan permusuhan.
Dari sisi historis Indonesia perkara perang melawan Belanda bukan karena Belanda penganut Nasrani, akan tetapi karena Belanda agresor dan menjajah. Memerangi Jepang, bukan karena Jepang penganut agama Majusi, akan tetapi karena Jepang menjajah. Dunia internasional tahu ini. Akhirnya, tuduhan "Islam fondamentalis" inipun gagal dipraktekan di Indonesia.
Propaganda Israel yang serupa
Propaganda politik Israel yag telah diketahui lama oleh dunia adalah ionisme. Zionisme adalah sebuah gerakan politik untuk mendirikan negara Yahudi merdeka di tanah yang dijanjikan (versi Yahudi adalah Palestina). Zionisme muncul akibat pembelokan ideologi Yahudi dari spiritualisme religius ke nasionalisme Israel yang dicetuskan oleh pendiri Zionisme Theodore Herzl.
Gerakan Zionisme ini mula-mula didukung oleh Inggris sebagai pendukung utama Yahudi internasional sebelum akhirnya Amerika sebagai pihak yang paling berkepentingan dalam mempertahankan eksistensi bangsa Yahudi di Palestina. Sampai-sampai di lembaga sekelas PBB pun tidak sanggup berbuat banyak ketika Amerika melakukan hak veto penolakan diberlakukan ancaman militer atau tindakan lain seperti kalimat kutukan terhadap Yahudi Israel.
Berbagai dampak buruk yang diakibatkan oleh Zionisme Israel juga tak lepas dari propaganda yang dilancarkannya. Sebab, tentunya sangat sulit mendirikan sebuah negara merdeka di negara Palestina tanpa kekerasan fisik. Roger Geraudy mengatakan, Zionisme Israel memperoleh pembenarannya setelah sebelumnya menanamkan dan melontarkan mitos-mitos yang berujung pada dukungan akan berdirinya negara Israel.
Mitos itu antara lain, bahwa merekalah yang paling berhak atas tanah Palestina, mitos bangsa terpilih, mitos kekejaman Nazi Hitler atas orang-orang Yahudi yang sampai sekarang tidak pernah terbukti kebenaran jumlah korban secara resmi. Padahal, mitos ini tak lain adalah usaha propaganda Yahudi untuk mengabsahkan perilaku Zionisme Israel. Termasuk mitos bahwa mereka adalah yang paling baik karena adanya larangan kawin dengan etnis lain. Mereka menganggap diri yang suci, dengan mengatakan etnis lain sebagai 'darah yang tidak suci'.
Salah satu contoh usaha perebutan paksa dalam mendirikan negara merdeka yang mendapat pembenaran pernah diungkapkan dalam harian besar Israel Ediot Aharonoth, 14 Juli 1972. Dalam harian itu disebutkan: "Tidak akan ada Zionisme, kolonisasi negara Yahudi, tanpa pengusiran orang Arab dan penyerobotan tanahnya". Dengan memakai teror, mereka berhasil menguasai tanah Palestina.
Memang secara tujuan, propaganda adalah alat yang efektif untuk menyalurkan sebuah tujuan atau misi. Namun telah diketahui sendiri, tidak seluruh propaganda itu positif, tergantung dalam dalam pelaksanaannya, dan tentunya tujuan juga.

Tidak ada komentar: