Senin, 21 Juli 2008

Wanita dalam Iklan

Produk yang diperuntukkan untuk perempuan dan menampilkan sosok perempuan kini cukup banyak. Mulai dari produk kecantikan, ramuan tradisional, alat rumah tangga sampai kendaraan bermotor tidak pernah kosong dari keterlibatan perempuan. Dengan memakai perempuan, diasumsikan akan menarik minat para pembeli yang ingin menyalurkan hasrat konsumtifnya. Dan ini terbukti, berbagai produk industri masa kini selalu dilemparkan ke publik melalui bujuk rayu iklan dengan perempuan sebagai model utamanya.
Meskipun pada awalnya iklan lebih berfungsi sebagai penyampai pesan dari nilai sebuah produk dengan harapan supaya dibeli oleh orang, maka lambat laun iklan memiliki peran yang lain, yaitu menciptakan citra, harapan, prestis, status, dan impian. Sementara penampilan perempuan yang dikemas dalam balutan visual yang kreatif, indah, dan kental nuansa humornya lebih sebagai pembawa pesan dengan daya tarik yang diupayakan bisa merengkuh keduanya. Hal ini memberi kesan bahwa dunia periklanan, baik lewat media cetak, elektronik, maupun media luar ruang selalu dimarakkan oleh kaum perempuan.
Media iklan menilai bahwa perempuan dianggap lebih efektif dalam upaya merebut perhatian dari khalayak sasaran. Maksud dari nilai kefektifan perempuan adalah terhadap nilai jual produk terhadap ketertarikan audiens pada iklan itu sendiri adalah karena keindahannya. Dapat diamati dengan sekilas pada iklan-iklan yang ada pada media televisi saja, untuk iklan sebuah produk yang bobot kehadiran tokohnya sama, antara laki-laki dan perempuan, biasanya perempuanlah yang dipilih. Antara lain juga karena keindahannya, perempuan sering menjadi inspirasi, termasuk dalam melahirkan sebuah produk. Alhasil, atribut, atau sikap yang mencirikan kaum hawa sebagai potensi melekat yang dimiliki perempuan secara kodrati, kini justru kian menjadi aset dalam serangkaian produksi dan pasar industri kebudayaan bernama iklan.

Permasalahan Representasi Perempuan dalam Iklan
Akan para media pengiklan kemudian tidak peduli bahwa apa yang mereka lakukan sesungguhnya adalah sebuah proses dehumanisasi dalam diri perempuan yang pada akhirnya akan benar-benar merendahkan martabat perempuan. Tetapi, memang demikian itulah yang terjadi pada diri perempuan. Nasib mereka dalam iklan barangkali akan selalu sejalan dengan nasibnya dalam masyarakat. Semakin masyarakat hipokrit dan patriarkis, maka semakin kuat pula perempuan menjadi simbol represi dan pada gilirannya perempuan akan semakin diburu oleh industri periklanan. Iklan pun menunjukkan betapa nilai secara patriarki masih terlihat sampai sekarang. Dapat diamati secara sekilas, apa yang ditampilkan dalam iklan yang dikhususkan bagi perempuan adalah kiat-kiat melangsungkan kehidupan dalam budaya patriarkhis. Yaitu kultur yang menempatkan semua aturan, otoritas dan subyek kepada laki-laki, sedangkan perempuan sekadar objek
Dari hal tersebut, perempuan pun menjadi makhluk yang kesannya hanya bisa mengurusi masalah rumah tangga. Hal ini tampak dari iklan perempuan mencuci, memasak, dan lain-lain. Contoh lain di luar rumah tangga yang tampak adalah dengan adanya iklan jamu "Rapet Wangi". Dalam iklan tersebut menganjurkan perempuan selalu tampil prima dan memuaskan suaminya. Masih banyak contoh-contoh iklan dengan model wanita melalui trik-trik iklan yang memang dirancang untuk memancing imajinasi, misalnya kontur tubuh (iklan peralatan aerobik), kemilau kulit (iklan bedak atau sabun mandi), kemilau rambut (iklan sampo), rekahan bibir (iklan lipstik), hubungan suami-istri (iklan obat kuat).
Dengan demikian, konstruksi tentang perempuan yang ditampilkan dalam iklan di layar kaca selalu menampakkan peran yang multidimensi. Ia tidak mungkin dibaca semata-mata sebagai korban patriarki. Dalam hubungannya dengan berbagai dimensi yang lain, peran-peran yang dimainkan perempuan dalam dunia iklan tidak akan lepas dari persentuhannya dengan wilayah yang lain, yaitu modal, penonton, dan regulasi publik dari negara dan agama.
Citra perempuan sekarang mungkin tak jauh dari apa yang kerap muncul pada iklan, yaitu: tubuh langsing, rambut panjang dan lurus, wajah putih mulus, dan bola mata yang indah berkat lensa kontak berwarna ungu atau hijau. Syukurlah tak selamanya yang cantik adalah seperti itu. Sejarah manusia mencatat, definisi cantik terus-menerus berubah. Di Eropa pada abad pertengahan kecantikan perempuan berkait erat dengan fertilitasnya, dengan kemampuan reproduksinya. Pada abad ke-15 sampai ke-17, perempuan cantik dan seksi adalah mereka yang punya perut dan panggul yang besar serta dada yang montok, yakni bagian tubuh yang berkait dengan fungsi reproduksi.
Maka ketika banyak kalangan yang memaknai cantik sebagai sesuatu yang sulit didefinisikan, maka iklan membuat kategori cantik menjadi sangat terukur. Cantik adalah putih, langsing, rambut hitam tanpa ketombe, dan selalu berbau wangi. Bukankah kriteria cantik seperti itu sesuai dengan produk yang diiklankan?
Cantik hasil konstruksi ini semakin menemukan tempat ketika hampir seluruh media massa menampilkan iklan produk-produk yang menunjang dan/atau sangat menentukan kecantikan seseorang. Bahkan, salah satu iklan produk pelangsing tubuh dengan berani menyimpulkan bahwa hubungan suami istri, atau paling tidak, sudut pandang dan perhatian seorang suami terhadap istrinya akan luntur ketika diketahui bahwa berat badan istrinya mulai bertambah dengan tonjolan-tonjolan daging berlemak di sana-sini.
Memang mula-mula citra adalah sebuah elemen dari proses representasi atas kenyataan dengan pengembangan bentuk-bentuk bahasa yang mengandung acuan faktual yang menghasilkan makna baru. Sebuah peristiwa adalah sebuah realitas yang tersusun oleh fakta-fakta. Namun, ketika peristiwa itu dilaporkan oleh surat kabar atau televisi dan kemudian dikonsumsi serta diinterpretasi ulang oleh konsumen, maka kemudian muncul berbagai citra yang lain, secara beruntun, saling terkait atau saling lepas, membentuk potongan, serpihan, serakan dan hubungan makna yang kian meluas dan rumit dan dari jaringan makna yang kian rumit itu kemudian terbentuk sebuah "realitas baru" yang kadang mengandung acuan yang jauh lebih luas ketimbang fakta semula. Citra yang diciptakan kepada perempuan didalam iklan lebih banyak memposisikan perempuan sebagai obyek yang dapat dibeli dan digunakan oleh konsumen.
Dalam konteks citra perempuan dalam iklan, budaya gender dibangun dengan memanipulasi tubuh perempuan sebagai tanda dari simbol-simbol yang secara stereotip melekat dalam diri perempuan; seperti keanggunan, kelembutan, kelincahan, keibuan, kemanjaan, dan lain-lain. Iklan berupaya merepresentasikan kenyataan masyarakat melalui tanda tertentu, sehingga menimbulkan impresi dalam benak konsumen bahwa citra produk yang ditampilkan adalah bagian dari kesadaran budaya, meski yang terjadi hanya ilusi belaka. Sebab, seringkali iklan menghadirkan gambaran palsu atau pseudo-realitas (Widyatama, 2006:19).
Setidaknya ada lima citra di mana perempuan dijadikan obyek iklan. Yaitu sebagai citra pigura, pilar, peraduan, pinggan dan pergaulan.
Dalam citra pigura, perempuan digambarkan sebagai makhluk yang harus memikat. Untuk itu, ia harus menonjolkan ciri biologis tertentu, seperti buah dada, pinggul dan seterusnya, maupun ciri kewanitaan yang dibentuk budaya, seperti rambut panjang, betis ramping mulus, dan sebagainya. Contohnya dalam iklan alat kecantikan atau pakaian.
Sedangkan pada citra pilar, perempuan digambarkan sebagai pengurus utama keluarga. Pengertian budaya yang dikandungnya adalah bahwa lelaki dan perempuan itu sederajat, tapi kodratnya berbeda. Sehingga wilayah kegiatan dan tanggung jawabnya berbeda pula. Contoh penggambaran perempuan bercitra pilar ini bisa kita temukan pada iklan AQUA, "Melindungi Anda Sekeluarga".
Citra peraduan menganggap perempuan adalah obyek pemuasan laki-laki, khususnya pemuasan seksual. Sehingga seluruh kecantikan perempuan, baik kecantikan alamiah maupun buatan (melalui komestik) disediakan untuk dikonsumsi laki-laki melalui kegiatan komsumtif misalnya, rabaan lembut atas rambut yang telah dicuci dengan sampo tertentu dan lain sebagainya.
Untuk citra pinggan, digambarkan bahwa betapapun tingginya perempuan dalam memperoleh gelar pendidikan dan sebesar apapun penghasilannya, kewajibannya adalah di dapur. Tetapi berkat teknologi sekarang, kegiatan di dapur itu tidak lagi berat dan membosankan. Sebab telah ada kompor gas, mesin cuci, bahan masakan instan dan lain sebagainya. Dengan cara ini, iklan menawarkan produk tertentu untuk digunakan para istri. Setelah meyakinkan bahwa kegiatan di dapur tidak harus menyiksa, tetapi justru bisa menyenangkan, lebih jauh diingatkan bahwa para suami lebih suka masakan istri. Contohnya adalah iklan produk masak bumbu dari Indofood.
Terakhir dalam citra pergaulan, perempuan digambarkan sebagai makhluk yang dipenuhi kekhawatiran tidak tampil memikat dan menawan, tidak presentable atau acceptable. Untuk dapat diterima, perempuan perlu physically presentable. Bentuk dan lekuk tubuh, aksentuasi bagian-bagian tertentu dengan menggunakan komestik dan aksesoris yang selaras sehingga seorang perempuan bisa anggun menawan, mengundang pesona dan unggah-ungguh fisik perlu dijaga sedemikian rupa agar menarik dan tidak membawa implikasi rendah diri tertentu diarena pergaulan luas. Contoh-contoh tersebut menunjukan bahwa mitos perempuan telah dimanfaatkan bersamaan dengan meningkatnya profesionalisme dikalangan pengiklan.

Menilik Dari segi Agama
Fenomena iklan di media cetak/elektronik yang menampilkan kemolekan tubuh wanita terkesan eksploitasi, dan itu dapat dinikmati noleh masyarakat umum setiap detiknya di berbagsi media. Parahnya, masyarakat tidak merasa tabu melihat pemandangan ini.
Justru ada sinyalemen, kalau acara televisi sesuai norma agama, semua perempuan memakai jilbab rapat, pasti tidak laku, orang akan bosan menontonnya, dan perusahaan televisi lama-lama akan bangkrut total.
Keadaan seperti ini pasti menimbulkan pro dan kontra, sebut saja ada dua kelompok. Kelompok pertama didukung oleh mayoritas umat Islam, walaupun dengan perspektif yang berbeda. Kelompok kedua didukung oleh kekuatan super power dunia, kapitalis-neoliberalis-sekuler. Mereka adalah kaum sekuler yang mengedepankan rasionalitas, liberitas, materialitas, hedonitas, dan seksualitas. Kekuatan super power ini sudah lama melakukan ekspansi moral, ekonomi, dan politik yang bebas tak beretika, jauh dari tuntunan agama.
Dengan begitu, dapat ditarik garis lurus, bahwa semua instrument tentang iklan dengan objek wanita yang dinilai agama berlebihan, mencerminkan perilaku Barat yang dominatif dan hegemonik yang tidak pernah terikat moral agama. Agama yang mereka anut sudah tidak mampu memayungi aspek publik, pascadominasi gereja waktu dulu yang sentralis, hegemonik, dan dominatif
Berbicara soal moral agama, hal tersebutlah yang menjadi dasar argumentasi umat Islam salah satu contohnya melarang terbitnya majalah Playboy pada saat itu. Ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah misalnya, kalau merujuk pada Alquran, Hadis, dan khazanah klasik (kitab kuning) jelas bahwa aurat (sesuatu yang harus ditutup rapat), baik laki-laki maupun perempuan, tidak boleh ditampakkan ke luar. Aurat harus dijaga, karena jika dibuka akan mengakibatkan fitnah.
Namun jika berbicara bagaimana strategi atau pendekatan yang harus digunakan untuk sosialisasi atau penegakan moral agama ini, masing-masing mempunyai cara dan metode sendiri. Pada dasarnya semua agama sepakat bahwa hal-hal yang berbau sensual dan seksual harus dilarang peredarannya, karena menghancurkan moralitas manusia.

Solusi Untuk Menghindari Makna Negatif
Banyak iklan yang cenderung penuh prasangka; menampilkan perempuan secara stereotip sebagai sosok lemah, sub-ordinasi terhadap laki-laki, terbatas, lebih banyak diperlihatkan sisi fisik semata, serta cenderung direpresentasikan mengerjakan pekerjaan domestik (Widyatama, 2006: 28).
Okky Asokawati, mantan peragawati kondang mengakui, perempuan dan iklan memang tidak bisa dipisahkan. Ia juga tak menyangsikan perempuan memiliki kekuatan dalam membantu menjual produk yang diiklankan. Karena itulah, keberadaan perempuan dalam iklan selalu menyertai produk paling bersahaja hingga sedan mewah.
Memang merupakan sebuah simbiosis mutualisme jika dilihat antara Media Iklan dengan para perempuan yang menjadi endoser iklan. Di sisi Media Iklan, mereka butuh model-model perempuan yang dibilang menarik di mata public dan memiliki "Daya Jual" lebih dalam peningkatan jual produk di pasar.
Di sisi lain, para perempuan tersebut juga membutuhkan penghasilan secara mandiri tanpa bergantung pada siapapun(Tak terkecuali yang berkeluarga). Merupakan sebuah karunia dari Tuhan jika seorang perempuan diberikan penampilan secara menarik. Dan dengan modal tersebut, tanpa harus lebih telah dapat menciptakan suatu usaha. Jika dengan kaeadaan seperti itu, wanita nama yang tidak tertarik pada dunia iklan dengan penghasilan yang tidak sedikit?
Melihat fenomena tersebut, persepsi yang salah dan anggapan yang merendahkan martabat perempuan terkait dengan masalah perempuan sebagai obyek iklan bisa diubah. Artinya, dengan kehadiran begitu banyak perempuan yang berperan dalam proses pembuatan iklan sejak dari ide, produksi sampai penayangannya, diharapkan akan dapat menciptakan suasana aman dari usaha-usaha murahan berselera rendah dalam bentuk rangsangan tubuh.
Disamping itu, pihak perempuan sebisanya untuk melakukan seleksi dalam pemilihan konsep dari produk iklan, guna menjaga image (kesan) perempuan secara general. Dari pihak media iklan sendiri, sebaiknya dapat melakukan kreativitas yang masih sejalan dengan norma-norma dimana produk / iklan tersebut ditayangkan. Begitu juga pada masyarakat sendiri, lebih pintar-pintar menilai iklan yang pantas di media.
Jika semua usaha itu terlaksana, diharapkan dapat merubah pola pikir dan anggapan audiens / masyarakat nilai ketertarikan sebuah iklan dari berbagi sisi secara lebih postif. Namun memang sulit untuk direalisasikan secara total, jika uang dan bisnis yang berbicara. Itulah kenyataan yang terjadi pada industri iklan di Indonesia

Tidak ada komentar: